Resepsi pernikahan dilakukan meriah, namun tak ada yang begitu berkesan untukku. Seperti pesta-pesta lainnya, banyak seremoni dan rangkaian acara rumit yang tak begitu aku nikmati. Aku terlalu introvert untuk hal-hal seperti ini.
Bahkan ketika rangkaian mawar putih segar menyelimuti kubah seperti taman di film Alice in Wonderland, aku masih merasa cukup bosan di dalam balutan gaun yang sangat cantik.
Aku hanya mengikuti Julian kemanapun ia menyapa teman-temannya. Aku berkenalan juga dengan teman bisnis ayahku dan Om Haris. Aku seperti pajangan cantik yang mengangguk-angguk ketika Julian didekati penjilat handal saat tahu perusahaan ayahku akan diwariskan padaku dan Julian nantinya.
Julian pun akan mewarisi bisnis dari keluarga Tante Ayu karena Tante Ayu adalah anak tunggal, sementara Om Haris adalah anak pertama sehingga ia akan mewarisi real estate yang banyak dihadiahkan oleh Keluarga Cendana pada kakeknya.
Aku tak punya kekayaan turun menurun selain dari ayahku yang merupakan pekerja keras dari dulu. Kakek dan nenekku dari keluarga ayah hanyalah kepala desa yang memiliki beberapa sawah dan peternakan sapi. Maka dari itu Papa sampai sekarang masih memiliki beberapa peternakan di daerah Sukabumi dan Majalengka, serta di Bengkulu, tanah asal orang tuanya berasal.
Mama pun hanya anak dari pemilik beberapa toko bahan bangunan yang saat ini toko itu dikelola oleh ayahku juga. Tidak sampai level korporat tentunya. Usaha-usaha kecil itu hanya tersebar di beberapa kota.
Kami cukup nyaman, namun tak seperti Julian. Kurasa Julian mengambil alih bisnis ayahku pun tak akan pernah menyaingi kekayaan individunya sebagai ahli waris saja. Skala bisnis meubel ayahku hanya sedikit lebih besar dari bisnis restoran Julian. Usaha peternakan sapi dan ayam milik ayahku hanya menambah bagian kecil dari pemasukannya.
Oh, awalnya aku tak tahu semua ini. Aku mendengarnya ketika kami mengobrol dengan para investor perusahaan Tante Ayu. Para pria berdasi dari SCBD ini membicarakan uang seperti sedang bermain monopoli. Santai dan semua orang terlihat senang.
Semua orang menikmati makanan dan pemandangan di Amanjiwo ketika langit mulai menunjukkan keindahan senjanya. Aku melihat Rosy yang cukup membaur dengan teman-teman Julian, terutama Albert.
"Carlina! Kita belum foto berdua!" ucap Rosy saat aku menghampiri mejanya.
"Sini gue fotoin," ucap Albert yang tadinya sedang mengobrol dengan Rosy.
Julian melirik Albert dengan tatapan misterius. Aku hanya tahu jika Albert sedikit tertarik dengan Rosy. Siapa yang tak akan tertarik dengan wanita cerdas ini?
Rosy berfoto dengan kami. Ia berdiri di tengah-tengah. Latar kolam renang dan pohon berbentuk tabung yang menjadi salah satu ikon Amanjiwo tentu akan terlihat cantik.
"Ah, lo cantik banget gila! Gue gak tau udah berapa kali gue nangis dari pagi liat lo begini," ucap Rosy yang kulihat memang sembab.
"Ya ampun! Biasa aja kali. Nanti malem kita ngobrol, ya. Gue kayaknya mau spa. Kita spa bareng, oke?" ucapku pada Rosy.
"Aduh, gue ngambil flight besok subuh ke Jakarta. Ini gue belom bilang sama lo takut lo marah, tapi gue mau usahain dateng ke nikahannya Angela. Maaf ya. Gue gak enak banget," ucap Rosy, terlihat bersalah.
"Gak apa-apa, Ros. Kan lo emang gak ada masalah sama Angela. Sampein salam gue sama dia dan Wilson, ya."
"Lo mau balik malem ini? Bareng gue aja nanti ke bandara," ucap Albert tiba-tiba.
"Oh, lo mau pulang sekarang juga?" sahut Rosy.
"Engga, tapi gue mau ke Jogja. Gapapa. Lagian lo mau naik apa ke sana? Jangan naik Grab. Gue juga ga yakin ada Grab di sekitar sini," ucap Albert.
