"Tuh kan, kamu marah."
Wajah tegas dan berwibawa itu mendadak terlihat seperti anak anjing yang sedang merengek.
Kesalku langsung hilang saat menatap mata Julian. Bagaimana pria berumur 30 tahun bisa bersikap seperti ini? Terlalu menggemaskan.
"Denger ya, aku gak marah, atau cemburu. Aku bangga karena kamu berani negur Felix." Aku melembut, bak seorang ibu yang menenangkan anaknya setelah memecahkan gelas.
Julian mengangguk dengan bibirnya yang masih manyun. Kurasa ia sama sekali tak sadar ia bersikap seperti itu. Tanpa mengatakan apapun, ban mobil ini kembali beputar di jalanan.
Aku berusaha menutupi senyumanku. Setiap detik aku teringat bagaimana mata sipit itu menjadi bulat dan bercahaya seperti biji lengkeng.
"Tapi, kamu bangga aku negur Felix?" Julian telah kembali pada sosoknya yang biasa.
Aku mengangguk. "Iya. Ucapannya terlalu kasar buatku."
"Dari dulu begitu. Felix temen yang aku kenal dari komunitas. Sejak awal, dia udah pasang mata ke Chloe. Bukan sebagai perempuan biasa. Dia mandang Chloe rendah. Ini aku bukan masih sayang Chloe, loh, ya."
"Iyaaaa. Terus, Chloe gimana?"
"Dia bukan tipe perempuan yang marah digituin. Chloe malah ikut bercanda sama Felix dan komunitasku dengan cara yang kurang etis, menurutku. Walau semua orang di sana jadi seneng akan kehadiran Chloe, aku pribadi kurang suka."
"Kamu cemburu?"
"Bukan cemburu. Aku akan jilat ludahku sendiri dengan ngomong gini. Tapi Felix ada benarnya. Kadang, Chloe bersikap kayak perempuan yang gak elegan."
Aku tahu apa yang ada di pikiran Julian. Ia hanya tak mau secara gamblang berkata bahwa Chloe mirip seorang pelacur. Selain itu mencoreng harga dirinya, kurasa ia memang hanya laki-laki yang sopan.
Aku jadi makin penasaran. Cerita Julian dan Chloe cukup unik. Julian disebut-sebut anak Tuhan oleh Joe, sementara Chloe disebut-sebut pelacur oleh Felix. Mereka berdua seperti kubu magnet. Berbeda, namun tertarik akan satu sama lain.
"Udahlah. Aku udah cukup ngebahas Chloe. Semua temenku selalu ngomongin dia. Padahal ada kamu di sana. Harusnya mereka ngomongin kamu. Kamu orang yang bakal jadi istri aku, bukan Chloe."
"Aku gak punya signifikansi apa-apa terhadap lingkunganmu. Dunia kita terlalu beda, Julian."
"Beda? Emang gimana duniamu?"
"Kayak yang kamu lihat saat kita pertama ketemu. Semua duniaku ada di dalam buku. Koneksiku cuma sedikit. Selain karena Papa overprotective, aku gak begitu pandai bergaul. Teman terbanyak yang pernah kupunya mungkin pas ikut komunitas kucing di UI."
"Komunitas kucing?"
"Iya! Kita urus kucing-kucing liar di UI. Kita kumpul donasi untuk steril kucing, bawa kucingnya ke dokter, kasih makan, gitu-gitu."
Julian tersenyum lebar. Ia pasti tak pernah membayangkan ada komunitas semacam itu di kampus. Dapat kubayangkan, ia adalah pria yang selalu clubbing dan berada di lingkaran pertemanan paling elit di UI. Anak-anak keren yang datang ke kampus dengan mobil mereka, melewati anak yang berkeringat karena berdempetan di KRL atau naik motor sewaan dari indekos mereka.
Di sana lah aku bertemu berbagai jenis orang. Aku mulai bergaul dan dengan orang-orang baik seperti Rosy dan Angela. Aku menghabiskan waktuku mencari kucing-kucing di kampus sambil menunggu dijemput Mas Budi.
Iya, saat aku kuliah, aku selalu diantar jemput. Tapi aku akali dengan mengabari Mas Budi bahwa aku selalu pulang sore sehingga aku punya banyak waktu untuk keluar dari penjara Lebak Bulus.
