39. Lake Como, Italia

136 14 3
                                    

note: chapter sebelumnya ada revisi mayor. boleh dibaca dulu dari chapter sebelumnya (hapus dari library dulu).

***

"Kenapa, Sayang?"

Julian tak begitu mendengarku karena suaraku pelan. Aku menggelengkan kepala, mengurungkan niatku untuk menceritakan prasangkaku. Julian mencoba untuk mengembuskan asap dari cerutunya ke arah lain. Di titik ini, aku tak masalah. Mungkin aku juga membutuhkan paparan asap itu sekarang.

"Are you close with them, Mas?"

"Abdullah dan Izzah? Gak juga. Kayaknya gak bisa deket juga, sih. Bukan tipe orang yang akan aku suka untuk ngobrol."

"Great. I don't like them either," gumamku dan mengembuskan napas lega.

Aku melipat tanganku dan mencari-cari pasangan itu dari kejauhan. Untungnya, besok mereka akan melanjutkan perjalanan ke Roma. Aku tak perlu repot dan merasa was-was.

Rasa gelisahku sejak bertemu mereka tak kunjung hilang begitu saja. Aku selalu melirik ke setiap orang yang lewat dan bertanya-tanya apa kesalahan yang kuperbuat. Sedikit banyak aku tahu bahwa prasangkaku benar, akan ada masalah besar yang menimpaku dan Julian.

Uniknya, Julian seperti mengenali rasa gelisahku. Padahal aku berusaha untuk bersikap tenang dan menikmati makan malam kami yang disajikan di kamar kami karena aku merasa tak nyaman untuk pergi ke restoran di Villa ini. Alasanku, aku masih merasa jet lag dan mungkin terlalu banyak mengonsumsi blue cheese tadi sore.

"Is there anything on your mind, Dear?" ucap Julian di tengah mak malam kami.

Selagi mengunyah daun basil yang memiliki rasa cukup kuat ini, aku berpikir. Sudah bukan waktunya aku untuk berbohong dengan perasaanku.

"Aku merasa aneh sejak ketemu temenmu, Mas."

"Perasaanmu wajar. Mereka memang bukan orang-orang paling menyenangkan untuk diajak ngobrol."

"Temen-temenmu yang kutemuin pas di Four Seasons itu juga sama aja. Tapi kali ini, aku merasa beneran gak nyaman."

Julian mengambil sapu tangan lalu mengusap mulutnya, menyudahi makan malamnya untuk berbicara lebih dalam denganku.

"Apa karena hormonku, ya?" ucapku dan mencari penyebab lain.

"Kalau kamu memang merasa aneh, mungkin memang ada yang salah. Bukan karena hormon kamu."

Percakapan ini terjeda karena aku meminum Sauvignon Blanc setelah makan. Aku meminumnya seperti air putih untuk membasuh tenggorokanku.

"Aku memang merhatiin gerak-gerik perempuan itu. Dia sengaja bikin kamu gak nyaman dan keliatan ngerendahin kamu."

"Why would she did that to me?"

Julian mengembuskan napas panjang, "karena kamu belum punya temen dari lingkungan mereka."

"Maybe i should make some notable friends."

"Gak usah. Cukup sekedar kenal aja kayak sekarang. Banyak dari mereka yang cuma mau manfaatin kamu, Car."

Dan di situlah aku menyadari bahwa aku memang berada di level yang berbeda dengan Julian serta keluarganya. Aku yakin orang-orang di lingkungan ini sudah saling mengenal sejak kecil karena satu sekolah, bersepupu, atau bahkan teman di sebuah kompetisi alat musik internasional bergengsi.

"You don't need to feel less, Sayang. You should be friends with people you like. Imagine having friends like Alice and those kind of girls. Kamu mau?"

"I guess girls on your levels are just bullies."

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now