38. Hotel Passalacqua, Italia

444 27 2
                                    

"Pagi, Sayang."

Dari ratusan pagi yang pernah kami lalui, sepertinya pagi hari ini terasa paling menyenangkan untukku.

Aku sudah sibuk membuat roti sejak subuh tadi. Sejujurnya, aku tak bisa tidur. Aku terlalu bahagia sampai aku hanya memandangi wajah Julian semalaman. Ia tertidur pulas seperti bayi.

Setelah sekian lama, kami tidur bersama, tanpa busana, dan kepalaku berada di atas tangannya semalaman. Mungkin ia akan merasa keram pagi ini. Namun, semua itu sepadan.

Kupikir-pikir, sekitar enam bulan lebih ia tak bersikap romantis. Sejak dua minggu yang lalu kami sudah berbaikan pun, kami masih belum seromantis itu. Hanya mulai mengobrol seperti teman.

"Kamu bikin apa?" Julian menyentuh bahuku dari belakang, lalu mencium pipiku.

"Foccacia, Mas. Ini percobaan pertamaku," jawabku.

"That looks good. Aku bikinin kamu jus ya? Mau pakai buah apa?" tanyanya sembari menggodaku dengan mengelus-elus bahuku.

"Can i have berries smoothies? With almond milk," ucapku, yang memang sudah kupikirkan sejak tadi.

"Sure. Do you want to add some sugar?"

"No, Mas. I'm on a diet, kinda."

"Diet apa? Kamu udah kurus loh."

"I gained like 3 kilogram."

"Oh, so thats the reason this thing gets plumpier." Tiba-tiba, Julian menyentuh bokongku dan sedikit menepuknya. Ia tertawa puas ketika melihatku terkejut.

"Jangan turunin berat badan kamu. Kamu naik 5 kilo atau 10 kilo lagi gak masalah, masih akan tetap cantik," ucapnya lalu berjalan menuju kulkas karena ia sendiri malu mengucapkannya.

Aku pura-pura mengecek foccacia di oven yang kebetulan sudah matang sempurna. Aku mencoba mengabaikan ucapan itu.

"Smoothies-ku tetep jangan dipakein gula. Stoberi di kulkas udah manis banget," ucapku mengalihkan pembicaraan, lalu mengangkat foccacia yang sudah matang dari oven.

Sarapan kami berlangsung seperti biasa. Hari-hari sebelumnya pun, kami tetap menyarap bersama. Tak ada perbedaan kecuali pandangan mata kami. Kami tak saling menghindari sekarang.

"Car, i was thinking that maybe, we can have our honeymoon in the near future. Menurutmu gimana?" tanya Julian selagi menyarap foccacia buatanku bersama tiga butir telur rebus yang selalu ada dalam menu sarapannya.

"Honeymoon? Ke Lake Como maksudnya?"

"Anywhere you want."

Aku memikirkan hal itu baik-baik sembari mengambil satu potong foccacia lagi yang kumakan bersama truffle butter.

"Sebetulnya, Mas, i prefer more dates with you. Regular date."

"We can do that. But you don't want a honeymoon at all?"

"Mau, tapi bukan sekarang. Aku gak pernah pacaran, Mas. Honeymoon kerasa seperti kegiatan orang dewasa. Aku gak ngerasa setua itu."

"We can have a date during our honeymoon, though."

"I know. But it just different."

"Sayang, do you feel uncomfortable by our intimacy last night?"

"Bukan gitu!" Aku menyangkal terlalu keras sampai alat makanku berjatuhan ke lantai. Aku langsung memungutnya dan merasa gugup. Aku takut Julian menganggap demikian.

"I... i do love it," ucapku gugup.

"I know you love it," sindir Julian dan membuatku semakin malu. Ia malah cekikikan sendiri.

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now