Jam 4 pagi, aku terbangun setelah tidur lelap setelah menangis.
Perkelahian melalui pesan dengan Mbak Octa membuatku sangat tertekan. Seluruh dunia seperti membalikkan punggungnya padaku. Padahal kukira, keluarga Julian menerimaku sepenuhnya sejak awal dan percaya padaku.
Aku tahu mereka hanya khawatir karena Julian sudah pernah diselingkuhi oleh Chloe sebelumnya. Kurasa, kondisi ketika Julian dan Chloe saat dulu sangat buruk sampai aku terkena getahnya.
Di sisi lain, aku merasa sangat bodoh dan ceroboh. Perempuan gila mana juga yang dengan sembrononya akan ke hotel bersama laki-laki yang tak ia kenal sepenuhnya?
Aku merasa sangat mual sampai terduduk di kasur. Di sampingku, ada Julian yang tertidur pulas. Aku tak tahu kapan ia pulang setelah menemui Yohan kemarin. Yang jelas, kami pulang terpisah setelah dari rumah orangtuaku dan kami membatalkan makan siang dengan orang tua Julian.
Wajah Julian membuatku lebih mual, memikirkan betapa besar beban yang kuberikan padanya karena semua masalahku.
Aku berlari ke kamar mandi, berlutut di depan toilet dan memuntahkan semua isi perutku. Dada dan tenggorokanku seperti terbakar ketika aku muntah. Beberapa tetes cairan menetes ke baju tidur satin berwarna krem yang aku kenakan. Aku merasa jijik dengan diriku sendiri.
Tangisku pecah. Rambutku berantakan. Bibirku basah dan muntahanku sangat bau. Aku merasa sangat jelek dan tidak berguna.
Tiba-tiba, Julian masuk ke kamar mandi. Ia mengambil beberapa tisu.
"Kenapa nangis?" tanya Julian dan berlutut di hadapanku.
Aku menggeleng-geleng kepalaku dan mengusap air mataku. Julian mengusap bibirku dan bajuku. Ia menjauhkanku dari kloset, menutup kloset, dan menekan tombol flush. Aku masih duduk dan bersandar di tembok marmer kamar mandi ini. Temboknya sangat dingin dan menyesakkan.
"Dia bikin kamu mual?" Julian mengelus perutku perlahan.
Aku menangis semakin deras ketika ia melakukan itu. Aku baru ingat pesan yang Mbak Octa kirimkan tadi malam padaku. Begitu kejam dan membuat diriku benar-benar percaya bahwa aku salah.
"Udah, yuk. Kita tidur lagi." Julian mengangkat tubuhku dan membopongku kembali ke kasur. Ia mengambilkanku baju ganti. Ia bahkan berniat untuk menggantikan bajuku. Namun aku menolak karena aku merasa jelek untuk disentuhnya.
Ia membiarkanku mengganti baju lalu mengambilkan segelas air hangat dari dispenser di kamar kami. Ia memungut baju kotorku lalu menempatkannya ke laundry bag.
Julian duduk di tepi kasur sambil menatap aku yang masih berlinang air mata. Ia menyodorkan gelas air tadi padaku.
"Kenapa?" tanyanya lembut.
"Mas... apa aku gugurin dulu kandunganku?" Aku hanya memegangi air hangat yang diberikan Julian tanpa meminumnya.
Sebelum menjawab, Julian menarik napas dalam-dalam. Ia juga mengusap matanya yang masih sangat lelah.
"Gak ada yang percaya kalau ini anak kamu, Mas. Mungkin kamu juga gak percaya—"
"Jangan bikin asumsi tentang perasaan aku, Car. Aku tahu itu anakku."
Aku menenggak air tadi sampai habis. Julian mengambil gelas itu dari tanganku dan meletakkannya di meja. Ia masih menatapiku dan menunggu apa yang aku katakan selanjutnya.
"Tadi malem aku berantem sama Mbak Octa," ucapku sedikit pelan, takut ia marah.
"Mas tahu," jawabnya singkat, tanpa penjelasan tentang perasaannya.
Tanpa disadari, aku menggenggam selimut di atas pangkuanku erat-erat, bersiap untuk tegurannya.
"Octa langsung nunjukkin aku chat kamu. Aku bentak dia di telepon," lanjutnya.