34. The Langham Jakarta

335 33 4
                                    

"Chloe, jangan bohong!"

"Kamu masih mau nyangkal anak kamu?"

"Itu bukan anakku, Chloe. Itu anak selingkuhanmu. Dan anak itu sudah gak ada karena keteledoranmu. Jangan berani-berani kamu ungkit tentang kebohongan itu lagi."

"Mas... cukup. Jangan bentak-bentak Chloe." Aku berbisik dan menarik lengannya pelan.

Ia beralih padaku. Ia menatapku dengan penuh amarah. Bukan, tatapan itu juga dibanjiri rasa sakit yang meluap. Aku mengorek luka lamanya lagi.

Aku melirik Chloe yang wajahnya sama marahnya, namun berkaca-kaca. Mereka berdua belum sembuh dari masa lalu mereka.

Julian kembali menatap Chloe sebelum kami pergi. Tak ada dari mereka yang melanjutkan perkelahian itu lagi. Tapi, Julian menatap Chloe cukup lama sebelum kami pergi dari sana.

"Apa? Kamu mau hina aku 'pelacur' lagi kayak dulu?" ujar Chloe setelah ia menitihkan air mata pertamanya.

"Don't do that. I am not the one who cheat in our relationship, Chloe."

"Tapi kamu yang nyerah."

Julian menggenggam tanganku erat, lalu berkata, "Semoga anak yang di surga itu mendoakanmu, Chloe."

Julian membawaku ke luar cafe di mana Mas Budi telah menungguku di mobil Mini Cooper keluargaku. Chloe masih terpaku di dalam cafe dan menangis dalam keheningan di meja tadi. Hatiku ikut sakit melihatnya hancur seperti itu.

"Kamu pulang ke Lebak Bulus sekarang. Aku akan jemput kamu setelah jam 6 nanti," ucap Julian begitu kami sampai di samping mobilku.

"Aku gak pernah bilang aku mau pulang ke Bogor. Aku bahkan belum mau temuin kamu saat ini," ucapku, masih menyimpan amarah walau aku memikirkan cerita Mama Ayu kemarin.

"Memang kamu mau apa lagi? Gak cukup kamu pergi dari rumah dan ketemu mantan pacarku? Kamu ini mau apa sih sebenernya?!" Emosi Julian yang meledak di halaman parkir ini membuatku sedikit khawatir.

Ia memang mengatakannya dengan tenang, tanpa bentakan atau gestur marah. Ia terlihat seperti orang yang bercakap-cakap biasa. Tapi setiap kalimat yang ia lontarkan membuatku ingin ikut meneriakkan isi hatiku.

"Andaikan kamu mau dengar ucapanku baik-baik, kamu mungkin sadar kalau yang aku mau cuma penjelasan atas sikap kamu. Aku harus hancurin harga diriku untuk ketemu mantan pacarmu biar aku paham isi kepalamu itu. Yang kudapat malah cerita ambigu tentang kamu punya anak. Siapa yang tersiksa sebetulnya, Julian?"

Mulutnya terkatup rapat. Ia tahu ucapan perempuan yang 7 tahun lebih muda darinya ini sangatlah benar. Aku tak memberikan belas kasih apapun. Aku langsung masuk ke mobil dan meminta Mas Budi untuk segera pergi dari sana.

Padahal, aku datang dengan niat baik. Aku sangat ingin masalah kami selesai. Mengetahui bahwa Julian saat ini sedang dalam posisi sulit juga menghancurkanku. Tapi Ya Tuhan, bagaimana memperbaiki semua ini dengan pria itu? Ia seperti hidup dalam pikirannya sendiri dan tak mempedulikan perasaanku sama sekali.

"Dari kemarin aku mau kita ngobrol, Car. Kamu malah pergi ke rumah orang tuamu."

"Terus kenapa kamu gak tahan aku ketika aku mau pergi?"

"Kenapa harus aku tahan? Kalau kamu butuh ruang dan waktu untuk lebih tenang, jelas akan kukasih."

"Tapi kamu seneng, kan, aku pergi? Aku tau kamu ke bar sama Albert."

"Seneng? Aku belum tidur dua hari ini. Makanku gak teratur. Aku harus minum 6 jenis obat berbeda dan kamu pikir aku seneng, Car?" 

"Kamu... kamu gak pernah ngomong apapun tentang minum obat."

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now