23. Kebun Raya Bogor

439 42 2
                                    

Masa ovulasiku sudah selesai. Sampai saat ini, aku belum pernah berhubungan intim dengan Julian.

Bukannya tak mau. Pendekatan yang kami lakukan sangat perlahan dan menyenangkan. Ia selalu menyambutku dengan ratusan ciuman setiap harinya. Saat bangun tidur, saat sarapan, saat ia akan pergi keluar, saat kami menonton TV, saat ia baru selesai mandi, kapanpun, di manapun. Aku tetap jadi perempuan pemalu. Tak pernah aku terang-terangan meminta hal itu darinya.

"Sayang, kamu siap-siap, ya. Pakai baju yang cantik."

Aku sedikit tertegun melihat suamiku yang sudah berdandan dengan tampannya sambil menyiapkan keranjang berisi pastry dan minuman kaleng.

"Eh? Mau ke mana?" tanyaku yang baru saja selesai mengeringkan rambut dengan asal-asalan.

"Kamu belum pernah ke Kebun Raya Bogor, kan? Kita piknik." Ia menunjuk keranjang rotan tadi yang ternyata sudah berisi alas kain untuk kami piknik beserta camilan-camilan ringan.

"Ya ampun! Serius? Oke. Tunggu sebentar. Mending aku pakai dress atau pakai rok pendek atau celana?" Aku sedikit melompat kegirangan sambil memikirkan berbagai baju cantik yang bisa kukenakan.

"Aku pilih dress." Ia memilih dengan cepat. Aku setuju. Ada sebuah dress Dolce & Gabbana yang awalnya ingin kukenakan saat di Lake Como. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengenakan dress tersebut.

"Okay! Pake sepatu heels kayaknya lucu juga. Tapi pegel gak, ya?" tanyaku ragu-ragu.

"Aku bisa gendong kamu kalau kamu pegel."

Aku tersipu malu. Aku segera berlari kecil ke walk-in-closetku untuk berganti baju. Aku juga memilih parfum hari ini dengan hati-hati. Ada sebuah parfum lokal yang kusukai belakangan ini yaitu Project 1945. Aku mengenal parfum ini dari hadiah pernikahan yang dikirimkan oleh teman-teman Julian.

Di walk-in-closet, aku mencari-cari varian Princess of Java yang ingin kukenakan hari ini. Tapi parfum berwarna merah muda itu tak ada di sana. Apakah aku memindahkannya ke suatu tempat?

Aku tak punya waktu untuk mencarinya. Maka, aku menyemprotkan varian Water of Maluku ke tubuhku yang kadang juga suka digunakan oleh Julian. Aku membiarkan baju kotorku di lantai dan langsung mengenakan dress cantik yang menggantung di lemari. Aku berdandan dengam cepat karena tak ingin Julian menanti terlalu lama.

"Astaga," ucap Julian begitu aku keluar dari kamar.

"Kenapa?"

"Cantik..."

Ia kehabisan kata-kata saat melihatku. Padahal aku merasa biasa saja. Aku salah tingkah sampai sedikit terpelintir oleh sepatu heelsku sendiri.

"Ayo. Kita berangkat."

***

Kami berangkat ke Kebun Raya Bogor yang jaraknya hanya sekitar 4 kilometer dari rumah kami. Porsche hadiah pernikahan kami akhirnya digunakan walau untuk perjalanan singkat. Agak memalukan, sejujurnya. Aku menjadi si tukang pamer yang selalu aku benci.

"Papa sama Mama kita kenapa ngasih mobil ini ya, bukannya SUV apa, gitu?" ucapku sambil memandang ke luar jendela.

"Ini sebenernya permintaanku. Aku mau jual Mercy untuk diganti ke mobil lain untuk kamu."

"Kenapa gak langsung minta beliin yang lain aja?"

"Aku gak suka kenangan sama Mercy itu. Makanya mau kujual. Tapi aku masih pengen punya satu mobil sports. Gapapa, kan?"

Ia terlihat khawatir dengan pengakuannya. Ucapanku terhadap Trilogi Crazy Rich Asian masih melekat di ingatannya, mengingat aku tak suka orang kaya seperti di trilogi itu.

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now