1. Perpustakaan Jakarta

1.8K 90 7
                                    

Perpustakaan kota yang baru direnovasi jadi salah satu tempat hits untuk didatangi semua kalangan, terutama remaja. Perpustakaan yang awalnya berdebu dan berhantu noni-noni Belanda, mungkin juga geisha Jepang, direnovasi jadi perpustakaan minimalis super modern dan yah, Instagrammable, mereka bilang.

Ini bukan pertama kalinya aku ke sini sejak direnovasi. Aku cukup sering pinjam buku atau baca langsung di perpustakaan. Terutama setelah aku lulus kuliah Sastra Indonesia yang gelarnya entah bisa kupakai untuk apa.

Aku bukan meremehkan prodiku sendiri, lho. Lebih tepatnya, aku tak punya minat sebesar itu ke sastra selain baca novel romansa. Itupun aku lebih senang novel-novel luar negeri seperti karya Jean Austen. Aku mau hidup di jaman itu.

Jadi, gelarku ini agak tak berguna untukku yang tak berminat. Lagipula, ayah konservatifku tak memperbolehkan aku untuk kerja nine to five di gedung pencakar langit super sibuk atau jadi barista di cafe-cafe daerah Cipete. Intinya, aku tak boleh bekerja.

Novel yang akan kubaca hari ini adalah China Rich Girlfriend karya Kevin Kwan. Aku sudah menonton film Crazy Rich Asian sebelumnya. Kehidupan orang kaya, aristokrat, dan golongan 1% lainnya ini selalu buat aku tertarik. Maklum, kesenjangan sosial.

Hampir seluruh kursi individual di perpustakaan ini penuh. Jujur, aku lumayan terkejut karena banyak orang yang mau ke perpustakaan. Kukira, perpustakaan sudah jadi tempat membosankan untuk anak muda. Ternyata mereka masih sering ke sini. Entah baca atau menumpang wifi.

Aku berakhir di sebuah meja panjang kayu yang kurang nyaman. Cuma tempat ini yang lebih baik daripada harus duduk di lantai dan bikin orang lain susah melangkah. Kebanyakan orang di meja ini sibuk dengan laptopnya masing-masing.

Aku punya dua jam sebelum Papa mencariku. Mungkin buku ini pada akhirnya akan aku pinjam juga. Tapi lebih baik di baca di sini agar aku kelihatan seperti orang sibuk yang jarang di rumah. Pencitraan untuk orang tuaku. Walau mereka juga tau aku pengangguran dengan gelar cum laude.

Setengah jam baca buku, mataku sedikit kebas dan butuh penyegaran. Aku tatap seluruh ruangan ini dan memeriksa aktivitas orang-orang.

Sekumpulan anak SMA di pojok tadi sudah pulang. Ibu-ibu yang sedang baca buku resep makanan tadi sekarang sudah berganti buku jadi buku kesehatan. Lelaki yang duduk di sebrangku dengan laptop MacBook Pro M1 dan headphone hitam masih di posisi yang sama, hampir tak bergerak sedikitpun.

Baru saja aku berpikir begitu, dia melepas airpodsnya dan bersandar di bangku kayu reyot itu. Kami bertukar tatap beberapa detik, aku sempat tersenyum canggung, lalu dia menatap ke luar jendela sambil melakukan beberapa gerakan peregangan.

Pria dengan kaos putih dan kemeja flannel biru itu hanya beristirahat selama tiga menit. Ia mengecek ponselnya sebentar, lalu kembali menatap layar laptopnya yang sudah meronta minta diistirahatkan.

Aku pun kembali dengan bukuku, kembali tenggelam dalam imajinasi bahwa aku bisa menjadi perempuan seperti Astrid Leong dalam buku ini.

Setengah jam berlalu, ponselku bergetar di atas meja, membuat beberapa orang menatapku karena sedikit terganggu. Termasuk pria berkemeja flanel tadi.

Aku berlari kecil ke tempat yang lebih sepi dan mengangkat telepon dari pemilik rumah di kawasan Lebak Bulus itu, ayahku.

"Halo, Pa?"

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now