24. Di Bawah Hujan

357 29 1
                                    

"Mas, papaku memang aneh. Kamu gak perlu pikirin ucapan dia."

"Aku udah janji, Car."

"Kita gak mungkin cerai, Mas. Papaku orang yang taat agama."

"Memang gak cerai. Tapi kamu pulang ke rumahmu dan kita gak ketemu lagi, kita hidup masing-masing."

Aku menarik napas panjang ketika mendengar hal tersebut. Papa lebih memikirkan egonya daripada perasaan orang lain. Lagi-lagi, ia terobsesi untuk memiliki anak yang sempurna. Tak cukup ia kecewa dengan aku yang tak tertarik dengan bisnisnya, sekarang Julian juga harus memenuhi standar sebagai anak sempurna tak bercelah itu.

Aku berdiri dan berjalan-jalan di sekitar Julian dengan kaki telanjang. Aku kerap mengharapkan matahari bersinar di tengah kencan kita yang mulai sesuram langit hari ini. Tapi permintaanku tak diindahkan oleh semesta.

Langit malah menurunkan hujannya padaku, membuat Julian membereskan barang-barang kami dengan panik dan berteduh di sebuah gazebo.

"Carlina! Sini!" teriak Julian dari gazebo setelah ia menenteng seluruh barang kami ke sana.

Hujan turun tanpa aba-aba. Seketika deras sekejap mata. Julian berlari ke arahku dan coba menarikku untuk berteduh, namun aku menahan tangannya.

"Carlina!"

"Aku mau ngerasain ujan-ujanan," ucapku.

Aku tersenyum ketika rambutku mulai basah. Aku berlari kecil di sekitar taman itu dan menengadah ke langit. Kali ini, aku rasanya ingin melanggar seluruh larangan ayahku saat aku masih tinggal di Lebak Bulus.

Aku lemah dan gampang sakit? Tidak. Aku tak selemah itu. Sikapnya yang terlalu mengekangku yang membuatku jadi lemah dan tak pernah merasakan hal-hal bodoh. Aku tak pernah terluka dalam hidupku. Tak ada sedikitpun tanah yang menyentuhku.

Lihatlah aku sekarang. Aku bahkan berlari-lari kecil di sekitar taman dengan kaki telanjang yang mulai kotor karena tanah. Seluruh rambutku basah. Aku bahkan meneguk sedikit air hujan karena tertawa bahagia.

Julian mulai menikmatinya ketika ia melihatku tertawa. Ia pun melepas sepatunya dan ikut berlarian bersamaku. Ia mengejarku dan tiba-tiba kami bermain seperti kucing. Aku bersembunyi di balik pohon dan ia mengejarku. Sebelum ia menangkapku, aku berlari menjauh.

"Eh!" Aku sedikit tersandung bebatuan dan hampir terjatuh saat berlari.

Julian menangkapku tepat waktu. Ia segera memelukku.

Aku refleks tertawa karena kupikir ini sangat lucu. Persis seperti di buku atau film romantis. Julian kebingungan melihatku tertawa. Aku mencoba menenangkannya.

"I'm okay," ucapku dan mengusap rambutnya yang basah ke belakang. Ia hanya menatapku cukup lama sampai ia melepas pelukan itu.

"Ayo, lagi!" Aku berlari kecil mengitari padanan tanaman berbentuk burung garuda itu.

Kali ini, Julian berlari cepat dan segera menangkapku.

"Carlina!"

Aku terkejut dan berbalik. Ia menarik tanganku sampai tubuhku menabrak tubuhnya. Tak sempat aku berpikir apapun, ia memegang kepalaku dan langsung mencium bibirku.

Aku bahagia bukan main. Aku rasanya mau melompat saat bibir manisnya melumat bibirku di bawah derasnya hujan ini. Aku memeluknya erat dan balas menciumnya dengan penuh kasih.

Ia melepasnya sesaat, ia tersenyum saat kami bertukar tatap.

Seluruh tubuh kami basah kuyup. Tanganku melingkar di lehernya dan tangannya berada di pinggangku.

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now