"Nak, ada Bu Ayu di bawah."
Aku yang masih dengan balutan piyama dan belum mandi di jam 3 sore ini langsung terduduk. Situasi ini kacau. Kenapa mertuaku ikut campur? Memangnya kami anak TK yang sedang berkelahi memperebutkan ayunan di taman?
Aku membuka pintu kamar sedikit, mempersilakan ibuku yang nampak khawatir.
"Sama Mas Ian?" tanyaku saat ibuku masuk ke kamar.
"Enggak. Sendiri. Bu Ayu tadi udah ngobrol panjang dulu sama Mama. Awalnya dia memang gak mau nemuin kamu karena merasa bersalah. Tapi setelah ngobrol sama Bu Ayu, kayaknya kamu harus ketemu."
"Ma, biarin aku selesain ini sama Mas Ian sendiri."
"Mama ngerti maksudmu, Nak. Masalahnya, ini memang gak cuma menyangkut Julian. Lebih baik kamu ngobrol sendiri sama Bu Ayu. Gapapa, jangan anggap beliau mamanya Julian. Anggap beliau sebagai ibumu juga, ya?"
Mama mengusap rambutku yang berantakan. Rayuannya berhasil. Aku mengiyakan ajakannya untuk menemui Mama Ayu. Walau Mama Ayu harus menungguku berganti baju rapi dan sedikit berdandan.
Aku turun ke ruang tamu. Wanita dengan rambut yang disanggul manis dan gaun batik bentuk kimono terlihat selalu cantik dan bersahaja. Betapa menyebalkannya ketika aku dapat melihat segelintir wajah Julian pada wajah cantik Mama Ayu.
Mama meninggalkanku untuk berbicara dari hati ke hati dengan Mama Ayu. Percakapan dimulai dengan basa basi kabar biasa. Aku memperlakukan Mama Ayu dengan santai layaknya tidak ada apa-apa. Senyuman termanisku masih terpasang untuk ibu mertuaku. Sebagian dari diriku merasa malu untuk menemuinya dalam kondisi seperti ini.
"Julian semalam pulang ke rumah Mama, dia juga tidur sama Mama. Dia minta maaf karena minum alkohol lagi. Mama mengobrol banyak sama Julian semalam."
Aku duduk di sofa panjang yang sama dengan Mama Ayu. Beliau menggenggam tanganku, menatap mataku dengan pandangan paling lembut dan rendah hati.
"Mama mau mengobrol sama kamu bukan karena Mama mau belain Julian. Anak Mama sangat banyak kesalahannya. Mama juga di sini gak mewakili dia karena dia pengecut. Mama yang memaksa untuk membicarakan ini sama kamu, karena ini adalah masalah pribadi Mama. Kita mengobrol sebagai sesama wanita, ya?"
Aku mengangguk paham. Mama Ayu membuatku berdebar dan merinding, menantikan apa yang ingin ia bicarakan.
"Saat ini, suamiku sedang pergi jauh, Nak. Ke lokasi yang istrinya sendiri tidak tahu. Pria itu pergi karena putra sulungnya bentak-bentak pria itu setelah putranya tahu kalau ia punya perempuan simpanan."
Jeda panjang mengisi percakapan kami. Aku kehabisan kata-kata untuk membalas, Mama Ayu bingung bagaimana melanjutkannya. Aku meletakkan tangan kiriku di atas tangannya. Kami saling menguatkan, selagi aku memikirkan baik-baik apa yang baru saja ia ucapkan.
"Hal yang paling buat hatiku hancur bukan karena ia punya simpanan. Aku udah tahu tentang itu sejak lama. Tapi, Nak, saat putra kami tahu, duniaku hancur. Putra kami membela aku mati-matian sampai ia usir ayahnya sendiri. Kalau waktu itu adik bungsunya gak nekat untuk pisahkan mereka, mungkin wajah putra kami sudah babak belur."
"Mama..."
Aku berdiri dari sofa saking terkejutnya. Aku menutup mulutku dan berjalan menjauh dari Mama Ayu. Tak dapat aku menatap wanita yang langsung bercucuran air mata ketika mengingat hal itu.
Badanku merinding. Aku memeluk diriku sendiri.
"Nak, Mama bukan mau buat kamu merasa bersalah. Perlakuan anakku memang sulit dimaafkan. Mama hanya berpikir kalau kamu berhak tahu. Alasan ia tunda punya anak adalah karena rasa kecewa terhadap ayahnya."