"Halo? Koh, jadinya di Jiwan. Kagak di Sentul."
"Kah, Koh, Kah, Koh. Gue orang Jawa."
"Jawa, Jawa. Minimal ireng kayak gue."
"Ye anjir. Okelah. Gas. Gue udah di jalan. Shareloc deh."
"Oke sek."
Panggilan dari teman Julian yang bernama Benny itu menggema di seluruh mobil. Julian sudah terlanjur menghubungkan ponselnya dan speaker mobil.
Julian melihat ponselnya sebentar. Membesarkan dan mengecilkan peta di ponselnya sebelum berangkat menuju tempat bernama Jiwan. Aku tak yakin apakah itu restoran, cafe, atau mungkin bar.
Kami berangkat dari rumah besar di daerah Tanah Sareal itu. Jika aku belum bercerita, persis di depan rumah ini terdapat pabrik ban bernama Good Year. Aku bertanya-tanya bagaimana pengolahan limbahnya dan kenapa ada pabrik di pusat kota. Jaraknya hanya sekitar tiga kilometer dari Istana Bogor.
Tentu saja, kami melewati Istana Bogor yang penuh dengan rusa itu dalam perjalanan. Hanya terlihat sekilas. Kurasa aku harus mampir kapan-kapan untuk melihat rusa itu dari dekat.
Hanya sekitar 15 menit, kami sudah sampai di tempat bernama Jiwan. Restoran dan cafe, rupanya. Aku sudah melihat empat mobil Mercy lainnya terparkir di sana. Mungkin ini teman dari komunitas Mercedes Benz.
Julian langsung membawaku ke dalam sambil memegang tanganku. Kuulangi, sambil memegang tanganku.
Tangan kiriku memegang tas Louis Vuitton Viva Cite GM yang diwariskan oleh ibuku. Kami berjalan masuk tanpa mampir di resepsionis untuk bertanya. Mata Julian cukup tajam. Ia dapat mengenali teman-temannya yang terhalang tembok.
Teman-temannya duduk di area outdoor persis di samping kolam. Mereka berada di meja yang memiliki payung karena tak ada atap di atas mereka.
Empat orang lelaki duduk dengan kepulan asap pods dan rokok mengelilingi mereka. Baju Deus ex Machina dan celana pendek Zara atau Uniqlo terlihat khas dikenakan oleh empat orang yang gayanya hampir serupa itu. Malah, Julian yang memakai celana jeans panjang dan sepatu tertutup menjadi pencilan di sini.
"Gila, akhirnya ketemu si artis!" ejek salah satu teman Julian lalu memberikan fist bump pada Julian dan juga aku.
Aku yang masih linglung karena tak pernah berkumpul dengan pria mencoba mengikuti alur, walau aku malah mengeluarkan tangan kiriku dan sedikit menusuk mereka dengan cincin pertunanganku.
Alhasil, mata mereka tertuju pada cincin itu.
"Carlina, salam kenal," ucapku setiap kepalan tanganku menyentuh mereka.
Aku dan Julian duduk di kursi yang tersisa. Belum ada makanan yang dipesan. Mereka sudah sibuk dengan rokok dan pods mereka. Aduh, semoga Papa tidak mencium bau ini saat aku pulang nanti.
"Ini Carlina, guys. Tunangan gua," ucap Julian sambil menyentuh punggungku.
Mereka saling tatap dan akhirnya berbisik, dengan sikap jenaka seperti komedian.
"Ini gapapa disebut? Boleh diomongin secara publik ga?" ucap salah satu pria berwajah gempal yang memegang pods berwarna ungu.
"Gimana?" tanya Julian padaku.
"Uh... ya, gapapa?" ucapku bingung.
"Gapapa bro. Udah resmi juga." Julian terkesan pamer sambil melirik jemariku yang beristirahat di atas meja.
Julian duduk di sebelah kananku dan ia meletakkan tangannya di sandaran bangkuku. Aku baru melihatnya sesantai ini. Ia menjadi orang yang cukup bawel dan sangat terbuka pada teman-temannya.