41. Perang Keluarga

431 27 9
                                    

Kukira ia akan bersikap dramatis dan melemah, namun Julian seperti menyadarkan dirinya dan bersikap dewasa.

"When did you find out?" tanyanya sambil memerhatikan baik-baik ketiga testpack tersebut. Tangannya gemetar selagi ia mencoba tegar.

"Empat hari yang lalu. Yang kamu pegang, itu test pack hari ini. Kemarin aku ke dokter untuk USG dan, ternyata aku memang hamil."

Ia menengadah dan berusaha agar air matanya tak jatuh. "Kenapa kamu gak bilang aku?"

"Its Kelvin's birthday. And, i feel like you have so much on your mind already. Aku gak mau nambah pikiran kamu."

Julian kehabisan kata-kata. Ia menatapi testpack itu dan menatapku berkali-kali. Sampai akhirnya, ia meletakkan testpack itu dan duduk di sofa single yang berada di pojok kamar kami.

"Car... aku..."

Ia mengusap lehernya, ia tak terlihat baik.

"I am so happy right now but, i'm sorry i feel odd."

Ia terlihat tenang, tapi aku tahu dadanya bergejolak. Aku sedikit lupa. Julian mungkin terkejut ketika aku menyodorkannya testpack sambil berteriak seperti tadi. Mungkin selama sepersekian detik, aku terdengar seperti Chloe.

Setelah lebih tenang, ia kembali berdiri. Ia menghampiriku dan memelukku tanpa basa-basi lagi.

"Mas... maaf. Kamu kaget, ya?" ucapku lalu mengelus punggungnya.

"I'm fine, Sayang. I am so happy to hear this. You are gonna be our baby's Mama. God, Jesus, thank you." Julian melonggarkan pelukannya, membuat tanda salib di dadanya, dan berdoa sedikit.

Mataku berkaca-kaca. Aku bahkan tak menyangka Julian akan sangat bersyukur dengan berita ini.

"Mulai sekarang juga, kamu gak perlu mikirin Octa atau Yohan. Aku yang akan urus semuanya. Sekarang, kamu fokus sama anak kita aja, oke?"

"Kurasa aku yang harus minta Mas untuk gak mikirin apa-apa. I know you are overwhelmed. Aku bisa liat dari wajah kamu."

Julian mencoba tersenyum lebar dan mengeluarkan wajah paling bahagianya. Aku langsung menggelengkan kepala dengan kepalsuan itu. Aku membencinya. Aku benci ketika aku selalu melewatkan saat-saat terendahnya dan aku tak pernah di sana.

"Mas, ayolah. Gak perlu pura-pura gitu. Is it... hurt? Whats on your mind?" Aku meletakkan tanganku di atas dadanya yang berdebar sangat keras dan cepat. Julian melemaskan tubuhnya dan mencoba mendengarkan isi kepalanya baik-baik.

"Kamu bukan tempat rehabilitasiku, Car. Aku gak mau nyusahin kamu dengan pikiran aku."

"Aku akan lebih khawatir dan stres kalau Mas nutupin semuanya."

"Baik... sini duduk sama Mas."

Ia meyakinkan diri untuk bercerita. Sebisa mungkin ia runtuhkan tembok-tembok itu dariku. Saat ini, aku hanya melihatnya sebagai seorang Julian, pria yang berumur hampir 31 tahun, dengan segala kesulitannya. Kupikir ketika kau sudah kaya raya, tak akan ada lagi masalah yang tak bisa diselesaikan dengan mudah. 

Ternyata, masalah kian sulitnya ketika kau berada di puncak sebuah pohon. Tiupan angin lebih kencang di atas sini.

Kami duduk di tepi ranjang. Julian menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ia menggenggam tanganku dan aku mengelus tangannya dengan lembut.

"Terlalu banyak hal yang terjadi di satu waktu, Car. Rumor tentangmu, Yohan, kamu hamil, belum lagi masalah selingkuhan Papa yang sebetulnya masih belum selesai. Di luar itu, secara gak langsung kerjaanku juga nambah pikiranku. Aku... agak lelah."

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now