Julian POV
Tak ada yang menyangka bahwa aku akan kembali ke kantor satu hari setelah pernikahanku. Semua orang bersiap untuk bersantai selama seminggu. Tapi di sinilah aku, membawa semua amarahku dari rumah dan menumpahkannya pada karyawanku yang tak bersalah.
Wajah-wajah muram mereka membuatku semakin tak enak. Aku tak bermaksud memarahi mereka hanya karena mereka salah mengetik nama anggota ONYX di poster soft launching cabang baru Joseon Galbi.
Aku mengurungkan niatku untuk berlama-lama di kantor. Aku tahu hal ini salah. Sebagai salah satu bentuk usaha dalam pernikahanku, aku pergi ke Lebak Bulus untuk menemui mertuaku sepulang bekerja.
"Mama Elle, maaf aku dateng tiba-tiba," ucapku begitu wanita yang perawakannya mirip istriku itu menyambutku.
Aku harus memanggil mertuaku Mama dan Papa juga sekarang, walau agak asing untukku. Tetapi, Mama Elle sangat baik dan mengajakku masuk untuk ikut menikmati camilan sore bersama Papa Michael di teras belakang.
Papa Michael tak terlihat senang ketika aku datang. Ia sedang membaca koran yang kukira sudah tak dibaca siapapun saat ini. Tersedia kopi hitam serta bakpao kacang merah buatan rumahan yang disajikan untuk waktu santai sore itu.
"Duduk, Nak," ucap Mama Elle dan segera menyajikanku segelas teh hangat.
"Gimana kabarmu dan Carlina? Kalian nyaman di Bogor?" tanya Mama Elle.
"Pasti gak nyaman. Orang anakku dibikin sedih terus," sindir Papa Michael sambil membalikkan halamannya.
"Ma, Pa, di sini Julian minta maaf karena udah bikin Carlina sedih. Sejujurnya, saya juga masih belum paham sama sifat Carlina. Jadi saya belum tahu dia sedih kenapa," ucapku dan mencoba pasrah. Papa Michael lebih menyeramkan dari ayahku sendiri.
"Kamu nih, masih kayak anak-anak aja. Bukannya mantan pacarmu banyak, hah?" Papa Michael melipat korannya dan mulai menatapku tajam. Wajahnya yang cukup mirip orang Eropa itu membuatku merinding.
Kejantananku seperti sedang diuji. Aku harus membuktikan diri kalau setidaknya aku bukan pengecut.
"Carlina memang berbeda dari perempuan yang pernah saya temui. Dia sangat baik tapi juga sangat tertutup," ucapku.
"Saya kira kau ini orangnya pintar. Coba kamu pikir lagi. Gak mungkin anakku marah tanpa sebab kalau kau gak macem-macem. Jangan-jangan mantan kau berulah lagi?"
Aku langsung tertegun. Papa Michael belum memaafkanku atas kejadian Alice dan teman-temannya. Sekarang, ia akan selalu melihatku sebagai lelaki bajingan dengan mantan pacar problematik.
"Pa, jangan langsung buruk sangka gitu," ucap Mama Elle mencoba meredakan situasi.
"Apa? Kau masih ngobrol sama mantanmu?" tekan Papa Michael.
Aku terdiam sejenak. Chloe memang menghubungiku saat pesta bujang, setelah aku memeluk Carlina malam itu. Tapi di malam pernikahanku, aku dan Carlina berciuman. Aku tak yakin Carlina mengetahui tentang pesanku dan Chloe.
"Masih, Julian?" Mama Elle mulai mencurigaiku.
"Perempuan itu memang menghubungi saya sebelum pernikahan. Tapi saya gak kasih harapan atau masih sayang, enggak sama sekali."
Mama Elle mengembuskan napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Papa Michael melepas kacamatanya.
"Bodoh. Bisa-bisanya kau hubungi mantanmu itu."
"Saya gak bermaksud–"
"Diam! Ngejawab aja terus kau. Kau ini salah, tahu? Aku gak tahu anakku itu marah kenapa. Mungkin ada masalah lain yang kita pun gak tahu. Aku udah peringatkan kau, Julian, masalah mantanmu itu."