15. Taman Literasi, Blok M

411 49 1
                                    

"Kejadian hari ini? Maksud kamu apa?"

"Gak perlu ditutupin lagi. Aku udah tau semuanya."

"Aku sakit, Julian."

"Carlina Armanantia!"

Ia menyebut nama lengkapku dengan suara yang cukup keras. Aku membeku dan tak dapat berkata-kata.

Julian mengingatkanku pada Papa. Aku bukan takut karena ia galak, aku takut karena kebohonganku terbongkar.

Pria itu menghampiriku dan berdiri di depanku. Ia berlutut, menyamakan level matanya dengan mataku yang duduk di atas kasur. Tidak, matanya ada di posisi lebih rendah.

Sorot mata itu berbeda. Matanya sedikit berkaca-kaca. Kerutan gelap kemerahan di bawah matanya menambah tegas sorot mata itu. Ia terlihat lelah dengan segala hal yang harus ia hadapi. Dan aku, aku menambah beban pikiran lain.

"Kalau kamu udah tau semuanya... mungkin kamu juga tau kalau kita harus berhenti di sini," ucapku.

Mulutku mendadak gagu. Aku tak dapat mengucap kalimat itu dengan baik seperti anak kecil baru belajar membaca.

Julian memalingkan wajahnya. Ia tak dapat menatap mataku untuk beberapa saat. Begitu pula aku. Kepalaku tertunduk malu. Akulah perempuan yang kalah sebelum berperang.

"Kenapa kamu mau berhenti? Kamu marah sama aku?"

"Aku gak marah sama kamu."

"Aku punya salah?"

"Ini bukan salah kamu."

"Kalau gitu buat apa berhenti?"

"Aku gak mau bikin Chloe menderita."

"Ngomong apa sih kamu, Car? Ngapain kamu mikirin Chloe? Liat apa yang Chloe dan temen-temennya lakuin ke kamu!"

"Apapun itu. Bukan hak aku untuk jadi istri kamu."

"Gak berhak dari mana, sih? Omong kosong. Ga ada alesan kita harus berhenti."

"Aku bilang aku sakit, Julian! Hati aku sakit dengan keadaan ini."

Tangisku pecah. Dasar bocah cengeng. Dasar bocah egois. Aku mengutuk diriku sendiri ketika mengatakan hal itu pada Julian.

Kejadian tadi siang mengguncang mentalku lebih dari yang aku perkirakan. Aku sangat marah dan merasa semua ini tidak adil. Aku melampiaskannya semua pada Julian.

Julian langsung berdiri. Ia mengusap wajahnya beberapa kali dan mengembuskan napas panjang.

"Aku bakal urus semuanya tentang Chloe dan Alice."

"Tolong jangan apa-apain mereka. Biarin aja dia."

"Kamu berharap aku diem aja setelah mereka bikin kamu hampir buta?!"

"Iya. Tolong. Aku baik-baik aja sekarang. Gak perlu dibesar-besarin lagi."

Julian berpikir untuk beberapa saat. Ia mengatur emosinya yang sudah memuncak itu.

"Oke. Tapi aku gak akan nyerah sama hubungan kita. Jangan minta aku berhenti."

Julian pergi meninggalkanku dengan langkah kaki yang tegas. Aku dapat mendengarnya menuruni anak tangga dengan kesal. Aku mengikuti dari belakang dan menguping. Ia hanya berpamitan dengan sopan pada ibuku lalu pergi.

Aku turun ke lantai dasar dan mengintip mobilnya pergi dari celah jendela.

"Nak, ini Julian bawain makanan buat kamu. Masih hangat," ucap Mama yang mengangkat sebuah paper bag cukup besar.

Aku duduk bersama Mama di ruang tengah sambil membuka isi paper bag itu. Aku terdiam kaku memperhatikan apa yang dibawakan Julian untukku.

Spicy Tuna Kimbap dan Rose Ttoekbokki dari Essel, serangkaian vitamin Blackmores, susu kedelai, susu oat, susu sapi, ia bahkan membelikanku koyo berbagai level panas dan inhaler.

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now