Ehem ehem

667 32 2
                                    

¯⁠\⁠(⁠◉⁠‿⁠◉⁠)⁠/⁠¯





bonus malam rabuan wkwmwk

Mentari berjalan dengan langkah cepat melewati lorong lorong rumah sakit dengan perasaan hancur. Dia mendapat kabar kalau Bara terluka dan di bawa kerumah sakit. Pantas saja sepanjang jam perasaannya tidak enak mencemaskan Bara. Bar, kenapa lo gak nepatin janji lo ke gue Bara... hiks.

"Dok. Suami saya gimana dok?! Dia baik baik aja kan dok? Dia gakpapa kan?!"cemas Mentari menghalang jalan dokter yang ia temui didepan ruang tunggu tempat Bara di dirawat. Dokter itu melepas maskernya menatap wajah panik Mentari.

"Jawab dong, jawab! Jangan diem aja saya tanya suami saya baik baik aja kan, Dok?! Dia gak kenapa-kenapa kan?!"

Mentari belum bisa bernapas dengan teratur. Dia menahan napas menunggu jawaban Dokter Saga.

Dokter Saga yang menangani Bara mengangguk mengiyakan. "Iya Nyonya, suami anda baik baik saja. "Jelasnya melepas masker hijau diwajahnya.

"Untunglah teman temannya tadi datang dengan cepat. Tuan Bara mengalami luka jahitan di bagian lengannya karena luka tusukan itu. Serta di beberapa bagian tubuh lainnya dia mengalami lebam dan luka luka ringan. Bagian perutnya juga sudah kami jahit tapi untunglah tidak ada cidera serius. "

Mentari sedikit bernapas lega.

"Saya boleh masuk lihat suami saya, Dok?"

"Ah. Tentu saja nyonya. Silahkan. Sekarang beliau juga sedang menunggu anda. Sepanjang operasi pun beliau terus menyebut-nyebut istrinya. "Dokter Saga tersenyum kagum. Dia tahu dan kenal baik dengan Bara dan Mentari, bahkan dia juga hadir dihari pernikahan mereka. Jelas dia paham situasinya karena Mentari dan Bara adalah anak dari rekan bisnisnya sekaligus teman lamanya.

"Baik Dok. Sekali lagi terimakasih atas bantuannya."

"Itu sudah kewajiban saya. Kalau begitu saya permisi, mari. "

"Ya. "

Mentari mematung didepan pintu ruangan Bara dirawat. Melihat cowok itu mengedipkan mata genit padanya hati Mentari jadi tenang tapi juga agak jengkel. "Dasar brengsek. "

Bara terkekeh mendengar umpatan kecil wanita itu. Dia menepuk-nepuk brankarnya menyuruh Mentari duduk disana.

"Lo ingkar janji. Gue marah!"

"Iya gue tau. Lo boleh marah. "

Mentari bersedekap duduk di dekat Bara. Sambil merengut dia membuang muka.

"Lo bilang lo gak bakal kenapa kenapa, lo gak bakal terluka ataupun bikin gue cemas. Tapi apa? Lo pembohong!"

Bara tidak kesal sama sekali. Dia justru merasa istrinya itu lucu jika sedang ngambek dengannya. Walau Mentari agak gemukan Bara tidak memperdulikannya, wanita itu tetap terlihat cantik dimatanya.

"Iya, maaf. Maafin gue Menta. Gue benar benar udah berusah sekuat tenaga gak bikin lo khawatir dengan gue kenapa kenapa. Tapi meskipun gue kenapa kenapa paling enggak gue menepati ucapan gue untuk balik kepada lo, kan?"

Mentari menurunkan egonya mendengar bujukan Bara. Dia menatap cowok itu dengan mata memerah. "Gue hanya takut kehilangan lo. "

Bara langsung menarik Mentari ke sisinya pelan. Memeluknya yang sudah seperti mau menangis itu. "Istri gue... ibu dari anak anak gue. Wanita gue... wanita paling berharga yang gue miliki itu elo Menta. "

Mentari terisak menangis dipelukan Bara. Ucapannya itu begitu manis sampai membuat Mentari gak bisa menahan untuk tidak menangis.

"Tolong jangan kayak gini lagi Bar, gue belum siap kehilangan lo. Tolong jangan buat gue takut. Gue takut banget Bar... gue takut hiks."

"Maaf."

¯⁠\⁠(⁠◉⁠‿⁠◉⁠)⁠/⁠¯

Sepekan sudah berlalu semenjak kejadian itu.

"Ona belum sadar ya, Bar?"

"Belum. Zioga selalu rutin jenguk di ke RS sama yang lain. Ona masih setia sama koma-nya. "

"Gue mau jenguk Ona, Bar. "

"Kita jenguk dia nanti ya? Setelah lo habis melahirkan. Dokter bilang kita harus siaga Menta, gue takut bawa lo keluar terus terusan. Lo ngerti ya, maksud gue? Kemarin kan kita udah kesana, jenguk Ona. Mereka juga ngerti kok sama kondisi lo sekarang. "

Mentari mengangguk mengikuti ucapan suaminya. Bara benar. Gak baik untuknya terus keluar rumah apalagi kan masih ada hal yang belum sepenuhnya terselesaikan.

Mentari hanya membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur membiarkan Bara mengelus perut buncitnya.

"Bar gue takut. "

"Gue bakal selalu disamping lo Menta. Gak ada yang harus lo takutin. "

"Tapi gue takut. "

"Sini gue peluk. "Bara meletakkan tangannya dibawah kepala Mentari. Dia tidak tau proses melahirkan itu seperti apa dan sesakit apa. Yang jelas dia bisa mengira-ngira akan sesakit apa nantinya Mentari. Dia sudah mencari tahu diberbagai sumber termasuk bertanya kepada mama dan mama mertuanya. Itu juga membuat Bara takut. "Lo akan selamat bersama bayi kita. "

"Lo nemenin gue kan, di dalam ruang lahiran nanti?"

"Iya, pasti. "

Gue juga takut. Tapi gue harus kuat untuk Mentari.

Bara memejamkan matanya. Setegang ini ternyata, mendekati proses lahiran?

Berulangkali Mentari mendengar suara napas Bara. Debaran jantung Bara juga terdengar jelas sekali ke telinganya. Bara berusaha kuat demi gue ya?

Mentari langsung memeluk Bara. walau keduanya tidak saling mengucapkan kalimat mengenai perasaan satu sama lain itu tak masalah. Mentari percaya bahwa Bara akan mencintainya seperti dirinya yang mencintai Bara. Sampai hari itu tiba gue bakal menjadi wanita terbahagia di dunia Bar.

"Menta. Udah lama ya kita enggak ehem ehem?"Bara mengusap lembut punggung tubuh Mentari. "Katanya kalau gituan mendekati lahiran bakal membantu proses melahirkan ya, Menta?"

"Bilang aja yang sebenarnya gak mesti harus ngode gitu, Bar. Gue juga kangen kok, ehem ehem sama lo. "

SIALLLL!!!!!

Bara kan jadi bersemu merah dibuatnya.

"Bara—KYAAA!!!"








vote
komen

BARA:My Menta, Mom Bastra {end}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang