Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku belum tidur, sekarang tepat pukul 3 subuh, aku memilih untuk duduk di ruang tengah dengan meminum kopi yang baru saja ku buat.
Disaat aku asik menikmati kopi aku dapat ku dengar suara benda berat yang jatuh dari kamar Sisca, setelahnya terus ku dengar bunyi benda jatuh. Aku khawatir, tapi aku takut kalau ternyata itu mengganggu dirinya.
5 menit berlalu, semakin dapat ku dengar suara tangisannya, disusul dengan suara teriakan. Dengan panik aku mencari kunci cadangan pada laci di depan kamar itu.
"Hey! Maaf kalau lancang, tapi saya masuk ya? Saya khawatir," teriakku dari arah luar dengan mencoba membuka pintu kamar miliknya.
Dapat ku lihat kamar ini, pecahan kaca merata pada lantai, ceceran darah yang ikut menghiasi lantai juga membuat kamar ini terlihat menyedihkan.
Ku melihat ke sekitar, mencari di mana Sisca. Hingga ku temukan dirinya yang sedang berada di pojok ruangan dengan memeluk lututnya erat. Dapat ku lihat juga bahunya yang bergetar dan suara tangisan yang makin kuat.
Aku mendekat ke arahnya, ikut memeluk tubuh miliknya itu. "Maaf, maafkan aku," ucapnya lirih dengan tangisan.
"Kamu ikut ke kamar saya dulu ya? Tidur di sana dulu sama saya, maaf kalau lancang. Tapi saya temani ya?" tanya ku yang sudah membantunya untuk berdiri.
Dia mengangguk, namun aku menghentikan langkah ku setelah ku lihat dia yang tidak menggunakan alas kaki apapun, dengan cepat aku menggendong dirinya.
"Maaf ya? Saya takut kaki kamu luka," kembali ku rasakan anggukan darinya yang sekarang memeluk tubuhku.
Aku perlahan membawanya keluar dari kamar ini, lalu membawanya pada kamar ku. Membiarkan dirinya bersandar terlebih dahulu sembari melihat luka pada tubuhnya.
"Saya obati dulu ya? Setelahnya kamu boleh lanjut tidur lagi," tawarku dengan dibalas anggukan darinya.
Aku berjalan ke luar kamar, mencari kotak P3K di dekat meja ruang tengah. Tangannya penuh akan luka, terutama pada pergelangan tangan di dekat nadi.
Aku kembali masuk ke dalam kamar, mendapati dirinya yang menunduk kembali. Bahunya juga kembali bergetar, dengan isak tangis yang dapat ku dengar.
"Maaf. Maaf kalau aku malah menghancurkan apartemen kamu, tolong jangan usir aku," ucapnya lirih.
Aku duduk tepat di sampingnya, menarik perlahan tangannya untuk ku obati. Dia menatap ke arah ku, dan dapat ku lihat dirinya yang sangat berantakan. Mata bengkak, hidung merah, dan rambut yang tidak teratur.
"Saya ga akan usir kamu, tapi kamu harus cerita ke saya ada apa. Supaya saya bisa menilai," aku tetap fokus mengobati lukanya.
Aku bisa mendengar rintihan sakit darinya, sesekali ku lihat dia mencoba untuk menarik tangannya. Ketika selesai mengobati tangannya, aku menatap dia.
"Sudah boleh cerita kamu kenapa? Kalau sudah, saya dengarkan," aku menarik selimut untuk menutupi kakinya itu.
"Maaf. Mimpi buruk itu terus datang, tapi trauma ini tidak ikut pergi bersama mimpi buruk itu. Aku takut, aku seperti dihantui."
"Mimpi itu, orang tua ku, dia. Itu terlihat nyata, seperti benar di depan ku ada mereka. Seperti mereka meminta ku untuk ikut dengan mereka, aku takut."
"Mereka menyuruh ku untuk mati, aku harus ikut mati. Kenapa aku selamat, kenapa aku tidak ikut dengan mereka, kenapa?" dapat ku lihat dia berhenti karena tangisnya yang semakin pecah.
"Sudah. Maaf saya harus buat kamu malah ingat kenangan buruk kamu? Sekarang tidur ya? Saya temani kamu, setelahnya saya tidur di sofa ruang tengah," dia menggeleng setelah mendengar perkataan ku.
"Temani aku? Aku butuh untuk di peluk untuk tenang dan itu cara terbaik agar mimpi itu tidak datang kembali. Bagaimana, boleh?" pintanya.
Aku mengangguk lalu menariknya dalam pelukanku, mengusap punggungnya perlahan agar dia merasa nyaman. "Selamat malam ya? Ada saya di sini, saya temani. Sleep tight," ucapku padanya yang membalas pelukanku.
Aku melihat ke arahnya, mendapati dirinya yang sudah tertidur kembali, dengan tangannya yang tidak ingin lepas dari tubuhku. Aku pun merasa kantuk yang teramat sangat, setelah itu aku ikut tertidur dalam pelukannya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku terbangun lebih dulu, dapat aku lihat dia yang masih tertidur. Mungkin karena hari ini adalah hari minggu, mungkin dia ingin bersantai.
Aku mencoba untuk melepas pelukannya, namun ternyata ikut terbangun. "Selamat pagi, apa kamu sudah merasa lebih baik?" sapanya pada ku.
Dapat ku lihat dirinya yang menggosok matanya pelan, "selamat pagi. Sudah baik, sangat baik. Terimakasih ya?" dia hanya membalas dengan anggukan.
"Nanti saya suruh orang buat bersihin kamar kamu ya? Tapi agak sore tidak masalah? Karena saya harus pulang ke rumah dulu untuk hari ini,"
"Kalau kamu merasa bosan, kamu boleh ajak teman kamu ke sini. Ya selagi teman kamu ga ikut menghancurkan apartemen saya," ucapnya disusul tawa.
Aku menunduk, merasa dia sedang menyindir diriku. "Tidak apa. Saya mau pesan makan, kamu mau juga?" aku mengangguk.
"Kalau begitu saya pesankan bubur ya? Ada hal yang boleh atau tidak boleh ada di dalam bubur punya kamu?" tanyanya padaku.
Aku menggeleng, "aku makan apapun kok, terimakasih ya," balasku disusul dengan senyum.
"Kalau begitu saya mandi dulu ya? Kamu juga boleh mandi setelahnya, nanti saya siapkan bajunya. Untuk sementara pakai baju saya dulu," tawarnya padaku, aku mengangguk membalas perkataannya.
Setelah dia keluar aku melihat kedua tanganku yang penuh dengan perban, terutama tangan kiri ku. Aku membuka perban itu, berharap mungkin sudah kering.
Dapat ku lihat banyak sekali garis dan darah kering di pinggirnya. Ini tidak terasa perih, mungkin dia benar dalam mengobati luka ku semalam.
Aku berjalan keluar kamar, membuat susu hangat untuk ku minum lalu duduk di depan tv memilih untuk menonton sebelum akhirnya aku mendapati ponsel milik Shani berbunyi dari dalam kamar.
Aku berlari ke dalam kamar yang ternyata ku dapati dirinya yang sudah mengangkat telpon tersebut sambil tersenyum ke arah ku.
"Saya ambil makanannya ke bawah dulu, kamu mandi ya? Sebelum turun saya siapkan baju kamu," aku membalas senyumnya, lalu berjalan ke arah kamar mandi.