Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku berdiam sendirian, melihat ke sekeliling kamar, tanpa sadar air mata ku jatuh setelah aku kembali menunduk. Lama aku memilih untuk menangis sendiri, hingga ku dengan ketukan pada pintu kamar.
"Aku masuk ya? Cuma mau obatin luka kamu itu, kalau ternyata kamu belum tenang aku bisa langsung keluar lagi," ucap Sisca.
Dia mendekat ke arahku dengan kotak P3K pada tangannya, mengobati luka pada sudut bibirku, tidak ada pembicaraan hingga akhirnya dia selesai.
Dia berdiri, ingin langsung berjalan menuju pintu. Ku genggam tangannya, menahannya untuk tetap di depan ku. Aku berdiri, lalu memeluknya.
"Boleh kalau aku ingin menangis tapi ditemani oleh kamu?" tanyaku, tidak ada jawaban, tapi kurasakan usapan pada kepala ku.
Secara tidak sadar air mata ku kembali jatuh, dia membawa ku untuk duduk di lantai saat ini. Dengan dia yang mengusap punggung ku, lama tidak ada pembicaraan sampai akhirnya aku selesai dengan tangisku.
"Terimakasih sudah mau mengeluarkan sisi lemah kamu, sekarang ayo ceritakan apa yang membuat kamu sampai jadi seperti tadi?" tanyanya.
Ku ceritakan semua pada Sisca, dengan posisi ku yang terus berubah. Kadang aku akan meminta untuk dipeluk olehnya, terkadang juga akan berbaring pada pahanya, dan juga akan bercerita sembari menaruh kepala ku pada bahunya bersandar.
Tangannya setia menggenggam tanganku dengan terus diusap olehnya, sesekali ku cium telapak tangannya dikala dia diam untuk mencerna cerita dari ku.
"Sudah deh. Begitu ceritanya," akhirku dengan tersenyum padanya.
Aku sekarang sedang bersandar pada pinggiran tempat tidur, dia ikut tersenyum lalu memainkan rambutku.
"Terimakasih ya sudah kuat? Kalau sekarang kamu sudah tenang ayo kita siap-siap? Takut terlambat, terus Mama tadi suruh kita buat makan siang di rumah aja. Makanan tadi masih banyak banget," balas Sisca.
Aku terkekeh mendengarnya, "kalau begitu aku habiskan! Perut aku ini besar, apalagi masakan kamu sama Mama. Jadi dua kali lebih besar," ucapku memperlihatkan dua jariku.
"Yasudah, go! Perut kamu itu harus kuat nampung seluruh masakan buatan aku sama Mama ya? Kalau ga habis bagaimana?" ucapnya menyentuh perutku namun wajahnya bingung.
"Apa ya? Aku kabulkan satu permintaan kamu? Bagaimana?" ucapku, dia mengusap dagunya bingung.
"Oke! Deal!" ucapnya, kami berjabatan tangan.
"Ayo siap-siap dulu," ucap Sisca.
Aku lebih dulu berlari ke arah kamar mandi, berdiri di depan pintu untuk menghalangi Sisca yang ingin masuk. Hingga akhirnya Sisca mendekat dan berdiri tepat di depan Shani.
"Aku duluan ya, atau mau mandi bareng?" ucapku menggodanya dengan mengedipkan salah satu mataku.
"Shani!" teriaknya dengan tatapan sinis.
Aku tertawa setelah menutup pintu kamar mandi, menikmati waktu ku sendiri di dalam sana dengan tenang walau tetap merasa kesal.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku sedang berjalan di taman belakang bersama dengan Papa, dan ini kali pertama kami berbicara serius dan hanay berdua hanya untuk membahas tentang Shani.
Papa yang awalnya bercerita tentang bagaimana bisa Shani membenci keluarganya, dan bagaimana tumbuh kembang Shani yang selalu dalam pengawasan Papa.
"Kamu tau? Semua Bapak-bapak di dunia ini agaknya terlalu banyak gengsi ya? Papa nyesal kenapa ga dari dulu membiasakan untuk bilang sayang ke anak Papa sendiri," ucap Papa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sekarang kalau mau ngomong malah takut anaknya yang risih, dasar penyakit Bapak-bapak," lanjut Papa.
Aku hanya tertawa membalas perkataan beliau. Dengan pembicaraan kami yang terus berlanjut, seperti sekarang. Papa dan aku malah membahas mengenai tumbuhan liar di taman belakang.
"Sayang!" panggil seseorang.
Aku menoleh ke arah suara tersebut, setelahnya ku lihat Shani yang berada tepat di pintu. Aku mendekat, membiarkannya untuk memeluk tubuhku sebentar.
"Sana, gantian buat mandi. Biar aku sekarang yang ngobrol sama Papa," ucapnya.
Aku kembali melihat ke arah Papa yang memberikan anggukan pada ku, aku mencium sekilas pipi Shani sebelum berjalan masuk untuk naik ke atas.
Tidak tau apa yang mereka bicarakan, aku memilih untuk mandi dengan berendam. Karena memori disaat aku ditampar oleh keluarga mantan ku kembali terulang, seakan kaset rusak yang tidak bisa diberhentikan.
Karena itu juga aku menarik Shani menyuruhnya untuk menenangkan diri dan meninggalkannya, karena aku juga butuh untuk menenangkan diriku sendiri. Sampai akhirnya aku ingat jika luka miliknya perlu untuk ku obati, aku membuang seluruh pikiran tentang kejadian itu yang kembali terputar sejenak.
Lama aku memilih untuk berendam, akhirnya aku memilih untuk menghentikan aktivitasku. Memakai baju yang sudah ku sediakan dan keluar dengan handuk yang melilit pada rambutku.
Berjalan ke arah meja rias, ku lihat Shani yang sudah duduk di ujung tempat tidur tepat di belakang kursi meja rias. Dia mendekat ke arahku, mengambil alih hair dryer dan dengan sabar dia mengeringkan rambutku.
"Nanti yang anter kita ke bandara itu Papa, dan yang jemput kita di Bali nanti Adik aku. Siapa tau kamu penasaran sama dia? Kan kamu cuma tau kalau aku punya Adik tapi ga tau bentukan dia gimana," ucapnya disusul tawa.
Dia menaruh hair dryer kembali ke meja, lalu memegang bahu ku. Menaruh dagunya pada kepala ku, lalu memejamkan matanya.
"Emang Adek kamu bakalan berubah wujud sampai kamu bilang bentukan? Yah wajar sih Mama malah beliin kalian baju tidur kembar, jadi makin penasaran sama Adek kamu," ucapku memegang tangannya yang berada pada bahu ku.
"Wah, kamu tau? Dia itu paling nyebelin. Nyebelin banget," ucapnya dengan ekspresi stress sekali.
"Tapi kamu juga nyebelin lho, Shan? Ga perlu tes DNA, udah fix itu Adek kamu," balasku, dia berdecak tidak terima.
Setelahnya kami menghabiskan waktu kami untuk beberapa saat sebelum akhirnya berangkat ke bandara diantar Papa dan Mama yang sibuk berbicara pada Shani untuk memberikan salam pada Adiknya.
Setelah perjalanan yang panjang kami pun sampai di kota yang dari dulu ku idamkan karena banyaknya pantai indah di sini, dan ini adalah Bali. Kami sudah sampai di Bali, waktu memang belum malam setelah perjalanan kami dari bandara menuju vila.
Vila yang dipesan oleh Shani tepat berada di pinggir pantai, oleh karena itu kami masih bisa untuk sedikit menikmati pemandangan matahari terbenam sebelum akhirnya benar-benar memilih untuk beristirahat berjalan pada alam mimpi.