Jakarta

293 41 0
                                    

selamat membaca!

Kami sampai di Jakarta, dengan aku dan Shani yang sekarang sudah dijemput oleh orang tuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami sampai di Jakarta, dengan aku dan Shani yang sekarang sudah dijemput oleh orang tuanya.

"Gimana di sana, Nak?" tanya Papa.

Papa membuka pembicaraan di antara kami semua, dengan aku yang menjelaskan seberapa bahagianya aku saat di sana, dan Shani yang terus diberikan pertanyaan mengenai Gita oleh Mama.

"Dia sudah jauh lebih dewasa dari sebelumnya, kalian juga cukup percaya sama dia. Mungkin lukanya masih belum sembuh sepenuhnya, jadi biarkan dia mencari obat untuk dirinya sendiri ya?" ucap Shani sembari menggenggam tangan Mama.

"Aku udah berusaha ngebujuk dia, tapi kalian tau sendiri setelah kejadian itu dia bagaimana kan? Lebih suka untuk diam, jadi sudah bukan paksaan yang dia butuhkan, dia hanya butuh waktu," lanjut Shani.

Dapat ku lihat kali ini Shani yang memeluk Mama di belakang, dengan aku duduk di samping Papa yang menyetir dengan Shani yang duduk di belakang dengan Mama.

"Jadi, kalian ngapain aja di sana?" tanya Papa yang menatap ku.

"Hanya ke pantai, sama nonton pertunjukan tari. Kami benar-benar butuh istirahat, bukan jalan-jalan, maka dari itu kita lebih banyak menghabiskan waktu di villa sama Gita, bareng pacarnya Gita juga," jawab ku.

Papa kembali menatapku dengan tatapan bertanya-tanya, aku menatapnya dengan senyuman di wajah ku.

"Dia punya pacar, Pa. Mungkin karena itu juga dia sekarang sudah mulai lebih terbuka, lebih ceria juga, Shani yang ngomong begitu," lanjut ku.

Papa kali ini tersenyum bangga, lalu kembali menatap ke arah depan, menjalankan mobil dengan perlahan.

"Semoga anak itu lebih baik di sana, tidak akan terluka, tidak pula menyimpan dendam berlebihnya. Semoga langgeng pula, kalian juga lho ya? Harus langgeng," ucap Papa.

Dengan Papa yang menunjuk kami berdua dengan wajahnya yang dibuat marah.

"Selagi kalian bahagia, Papa dan Mama juga pasti akan bahagia. Sekarang kalian hidup diatas kaki kalian sendiri, jadi hidup kalian adalah tanggung jawab kalian. Papa dan Mama hanya bisa mendukung, ingat itu ya Shan?" lanjut Papa.

Papa menatap Shani sekilas dari cermin dan aku dapat melihat Shani yang mengangguk.

"Ingat juga pesan Papa, kami tetap rumah kalian, jika kalian lelah dengan dunia kalian, maka pulang lah. Untuk Sisca, kamu juga begitu Nak, sekarang kami adalah orang tua kamu juga, jadi jangan sungkan ya?" ujar Papa.

Aku menghadap ke Papa yang sedang tersenyum ke arah ku, memberikan tatapan teduh miliknya.

Kami sampai di rumah, dengan aku yang sekarang sudah masuk ke kamar lebih dulu daripada Sisca, lalu aku memilih untuk duduk di balkon, dengan membawa 2 kaleng kopi untuk ku minum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami sampai di rumah, dengan aku yang sekarang sudah masuk ke kamar lebih dulu daripada Sisca, lalu aku memilih untuk duduk di balkon, dengan membawa 2 kaleng kopi untuk ku minum.

Aku hanya duduk diam dikursi yang ada, melamun lebih tepatnya. Aku diam saja, sampai ku rasakan ada tangan yang memegang bahu ku.

Aku tidak menoleh, tapi aku merasakan tangan itu yang sekarang malah memijit pelan bahu ku.

"Perlu aku temani, sayang?" tawar Sisca.

Aku hanya mengangguk, setelahnya dia duduk di kursi yang ada di sampingku.

"Ada hal mengganjal yang perlu kamu ceritakan?" tanyanya lagi.

Aku tersenyum menatapnya yang kini sudah menggenggam tanganku, memberikan senyumnya padaku.

"Boleh untuk bercerita?" tanyaku.

Dia mengangguk sebagai jawaban, setelahnya mengarahkan kursi padaku untuk leluasa menatap ke arah ku.

Flashback!

Hari di mana seharusnya hari itu menjadi hari yang bahagia untuk kami semua, tapi kenyataannya harus menjadi suram. Kami berjalan untuk melakukan liburan keluarga, sama seperti setiap tahunnya.

"Cici! Kali ini aku akan berenang jauh lebih cepat daripada Cici, liat ya nanti!" teriak Gita dengan semangat.

"Ga akan bisa anak kecil! Cici bakalan terus menang dari kamu!" balas ku.

Lama dia bermain pada pinggirannya, sekarang tidak ku temukan lagi tubuhnya.

"Gita! Jangan bercanda dulu, ga baik bercanda di air begitu! Gita!" teriakku.

Sama sekali tidak ku lihat tubuhnya pada air dengan ombak yang cukup besar ini. Aku berlari mendekat ke arah orang tua ku, memberitahu mereka bahwa Gita hilang.

"Maaf, maafin Shani. Tapi sekarang Gita ga tau ada di mana, dia hilang. Dia, dia hilang," ucapku gugup.

Aku tidak mendengar satu kata pun keluar dari mulut Papa dan Mama, mereka berlari ke tempat di mana terakhir aku dan Gita bermain.

Aku melihat Papa yang melompat masuk ke dalam air dengan panik, dengan Mama yang sudah menghubungi petugas pantai ini. Setelahnya Gita memang ditemukan, tapi dia lupa dengan kami semua.

Kata dokter, bisa saja kalau saat tenggelam dia malah tidak sengaja terbentur sesuatu, karena saat ditemukan, kepalanya luka seperti terbentur, karena itu dia kehilangan ingatannya.

Setelah itu, kami semua merawat Gita, menjauhkannya dari pantai agar dia tidak teringat peristiwa itu. Tapi tanpa sengaja, 2 minggu setelah semua mulai baik-baik saja, Papa malah menjadi lelaki bajingan menurut Gita.

Saat itu, ulang tahun Mama. Hari seharusnya kami juga bahagia, tapi Papa malah ketahuan sedang berselingkuh dan Mama yang pertama tau tentang itu.

Saat itu Papa menggila, dia melempari seluruh barang yang ada di rumah. Aku dan Gita bersembunyi di kamarnya, lama mereka bertengkar hingga akhirnya suara ribut pun tidak dapat kami dengar.

Aku dan Gita keluar dari kamar, tapi yang kami dapati adalah Papa sudah berdiri di atas Mama yang terbaring penuh dengan darah. Aku meminta Gita untuk kembali masuk ke dalam kamar, memintanya untuk menelepon ambulans dan polisi.

Dengan aku yang mendekatkan diri pada Papa yang sudah menangis, menyesali perbuatanya. Dia memeluk tubuh Mama, meminta Mama untuk tetap tersadar, meminta Mama untuk menunggu.

Tidak lama ambulans dan polisi datang, dengan Papa yang dibawa oleh polisi, aku dan Gita yang ikut masuk dalam ambulans melihat Mama dengan perjuangannya untuk bertahan.

Gita terus menangis, dia juga terus memeluk Mama, tidak ingin lepas. Karena dia adalah anak yang paling Mama sayang, dan anak yang paling dekat dengan Mama. Dengan Mama yang juga terus mengelus perlahan kepala Gita ditengah menahan sakitnya agar Gita berhenti menangis.

Kami sampai di rumah sakit, Mama sudah hilang dibalik ruangan serba putih itu, dengan Gita yang terduduk memeluk tubuhnya sendiri. Tapi dia sudah berhenti menangis, namun dengan tatapan kosong miliknya dia menatapku.

Aku duduk tepat di sampingnya, memeluk tubuhnya. Pertama kali kami berpelukan disaat kami sudah hampir dewasa, dan pelukan terhangat yang bisa ku berikan untuk dia.

Setelah itu Mama melangsungkan operasi dengan Papa yang ditahan di kantor polisi. Kami hanya berdua saat itu, dan dengan itu juga akhirnya kami jadi dekat. Tidak terasa, 1 bulan terlewati, dengan Papa yang tidak ditahan karena Mama mencabut laporannya.

Karena hal itu pula, Gita jadi anak yang pemurung, dan takut dengan Papa. Karena itu juga, Gita memilih untuk lekas pergi dari rumah setelah dia merasa dewasa.

───

kita | shansis - endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang