menyerah

593 45 0
                                        

selamat membaca!

Kami sudah sampai di rumah, hujan pun sudah berhenti, aku masih membukakan pintu untuknya walau dengan emosi dan kecewa yang sedaritadi ku tahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami sudah sampai di rumah, hujan pun sudah berhenti, aku masih membukakan pintu untuknya walau dengan emosi dan kecewa yang sedaritadi ku tahan.

Rencana ku adalah langsung menemui Papa, harus meminta saran pada orang tua ku itu. Pakar cinta saat muda dan kisah pernikahannya yang jadi pembelajaran untuk hidup kami semua.

"Aku datangi Papa dulu, kalau kamu mau langsung ke kamar tidak masalah. Atau mungkin kamu mau bicara sama Mama juga tidak masalah," ucap ku dengan terus menatap ke depan.

"Kalau sudah bicara sama Papa langsung ke kamar ya? Kita lanjutkan pembicaraan tadi, tapi pastikan kalau kamu sudah tenang dan siap mendengar semuanya," ucap Sisca memegang bahu ku sebelum berjalan mengarah ke tangga untuk naik ke kamar.

Aku lebih memilih untuk diam dan menemui Mama yang ternyata di dapur. Memeluk tubuh ramping wanita kesayanganku ini, "Papa di mana, Ma?" tanyaku.

Mama tidak menoleh namun terkekeh, "itu di kebun," jawab Mama sembari menunjuk pada pintu belakang.

Aku berjalan lemah ke arah taman belakang yang sudah menjadi kebun pribadi milik Papa ini. Aku mendekat ke arahnya, memilih untuk langsung duduk di kursi tepat di samping dia duduk.

Papa menatap ku sedaritadi, melihat ku dengan seksama lalu menyerahkan kopinya untuk ku minum sebelum dia memintaku berbicara serius padanya.

Aku menarik napas ku dalam, sebelum akhirnya membuka pembicaraan. "Ragu yang dia beritahukan selama ini bukan ragu karena setengah jiwa miliknya hilang."

"Takut yang dia lawan selama ini juga bukan takut karena raga miliknya diminta untuk ikut pulang. Tapi ragu dan takut karena tidak mau mengecewakan orang tuanya," ucapku lirih.

Aku menatap Papa, dia memutar kursi miliknya agar dapat leluasa menatap ku dalam berbicara padanya. Beliau benar-benar mengerti tentang ku.

"Aku harus apa? Harus menyerah? Atau berjuang tanpa bisa mendapatkan restu orang tuanya? Dan membiarkan dia menjadi anak pembangkang hanya karena ingin bahagia ku terlaksanakan?"

"Orang tuanya ingin dia hidup bahagia dengan lelaki yang ternyata bisa menjaga dia, bukan aku. Aku, aku bingung. Apa sekarang? Aku harus apa?"

Papa mengangguk paham dengan segala ucapanku sejak tadi, "apa Papa sudah boleh menjawab? Atau masih perlu kamu keluarkan segala pertanyaan yang ada di kepala mu itu?"

Aku menggeleng, "Papa sudah boleh menjawab, beri aku saran. Beri aku pendapat aku harus apa," balas ku sembari menunduk, seperti anak kecil yang sedang dimarahi orang tuanya.

"Papa tau kamu mungkin takut karena Papa selalu bilang tidak boleh mengambil atau membawa apapun tanpa seizin orang yang punya. Tapi untuk sekarang, Sisca adalah milik dirinya sendiri."

"Papa tau kamu takut kalau Sisca akan jadi pembangkang karena kamu, tapi kamu perlu tau. Kalau dia ternyata sudah memilih kamu, sekarang malah kamu yang ragu dan takut."

"Papa tau kalau kamu anak Papa yang paling berani, anak Papa yang paling penyayang. Kamu tau sebelum kamu bisa membuat Papa luluh kalau ternyata kamu memilih Sisca."

"Jujur, Papa merasa gagal dalam mendidik kamu, tapi setelahnya Papa yakin. Papa yakin kalau kamu adalah hak untuk diri kamu sendiri, bukan lagi hak Papa. Kamu sudah dewasa sekarang, Papa hanya menjadi rumah yang selalu menunggu kamu ntuk pulang, bukan lagi rumah yang memaksa kamu untuk pulang."

"Berjuang itu tidak masalah, kalau kamu gagal Papa akan selalu menerima kamu di sini. Rumah ini adalah rumah kamu, sama seperti dulu saat kamu gagal, Papa akan siap menerima tangis mu."

"Perjuangankan dia, beritahukan dunia kalau kamu anak Papa yang paling hebat. Jangan menyerah sebelum kamu benar-benar berjuang sampai akhirnya luka mu sudah terlalu banyak sampai tidak kamu temukan obatnya."

"Apa kamu mengerti Shani Dahayu? Kalau mengerti, peluk Papa sebagai bayarannya," pinta Papa yang sudah merentangkan tangannya meminta ku untuk segera memeluknya.

Aku berdiri lalu berjalan ke depan tubuhnya, menurunkan tubuhku untuk segera memeluknya. Tubuh yang dulu kekar dan tegap yang siap jika bahunya penuh air mata milikku ini.

"Pa, sekali lagi terimakasih. Terimakasih untuk segala hal yang Papa usahakan untuk Shani selama ini. Terimakasih juga untuk pembelajaran hidup yang selalu Papa kasih untuk Shani."

Papa menepuk punggung ku seakan memberi energi agar tubuhku tidak kembali lemas seperti tadi. "Sekarang, selesaikan masalah kamu. Jangan menyerah sebelum dia sendiri yang meminta mu untuk menyerah. Jangan lupa mandi, badan kamu basah sekali."

Aku berdiri melepas pelukan kami lalu memberikan gestur hormat padanya, "siap! Kalau begitu Shani tinggal dulu ya, Pa? Selamat berkebun."

Aku berjalan menjauh dari Papa setelah ku dapat anggukan darinya. Lalu berjalan masuk kembali ke dalam untuk naik ke kamar milikku di lantai atas.

 Lalu berjalan masuk kembali ke dalam untuk naik ke kamar milikku di lantai atas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku bingung, hubungan ini malah terasa menggantung. Aku benar-benar takut jika mengecewakan mereka, tapi bukan berarti aku tidak ingin mencoba untuk menerima Shani.

"Sisca, aku masuk ya?" teriaknya dari luar kamar, aku berteriak membalasnya untuk membiarkan dia lekas masuk.

Ku dapati dia yang berjalan mendekat ke arah ku, lalu duduk di kursi tepat di samping tempat tidur. Dia terus menatap ku dengan tatapan yang aku sendiri tidak tau mengisyaratkan apa itu.

"Sisca, bagaimana kalau aku memilih untuk menyerah sebelum aku berjuang bersama kamu?" tanyanya padaku, aku menunduk sembari memainkan jari-jari ku.

Sial, pertanyaan macam apa itu Shani Dahayu? Aku terdiam mendengar pertanyaan itu, masih dengan terus memakinya di dalam hati.

"Sekarang, aku yang ragu dan takut untuk hanya sekedar mengajak mu melangkah satu langkah pada hubungan yang pasti itu."

"Apa boleh kalau aku memilih untuk menyerah, Sisca?" tanyanya, aku menatap dirinya setelah kalimat terakhir yang ku dengar dengan lirih.

"Kalau kamu menyerah tanpa berjuang, lalu kemarin kamu selalu ada untuk aku itu apa? Menurut mu itu bukan suatu perjuangan kah?"

Aku menarik napas ku kasar, "kamu yang selalu ada di saat mimpi itu datang, di saat aku mulai kembali mengingat mereka, kamu rasa itu bukan perjuangan?"

"Kamu anggap itu apa? Permainan agar hati ku luluh? Ingin mu itu apa Shani Dahayu? Kamu ingin membuatku jatuh dalam perlakuan mu tapi kamu tidak mau menangkap ku?"

"Pikirkan baik-baik setelah ini, aku akan berusaha melupakan masa lalu ku jika itu bersama kamu. Aku mau untuk belajar ikhlas jika itu dengan kamu," bentak ku.

"Aku keluar dulu bantuin Mama siapkan makan malam, kamu mandi dulu ya? Bajunya itu sudah aku siapkan," ucapku lalu berjalan keluar kamar dengan sedikit membanting pintu saat aku menutupnya.

Aku berjalan ke dapur untuk membantu Mama sekaligus menjauh sebentar untuk mendinginkan isi kepala ku yang sedang panas karena terus berpikir keras.

────

kita | shansis - endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang