Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sekarang kami berada di pantai yang terkenal di Bali, di waktu yang sudah senja, namun itu yang kami cari, karena ini permintaan ku agar tidak terlalu panas dan dapat melihat matahari terbenam di pantai yang terkenal ini.
Kami memilih untuk masuk pada salah satu tempat makan yang ada di pinggir pantai, karena waktu memang belum mendekati senja, dengan meminum sesuatu sebelum akhirnya kembali keluar bermain dengan pasir dan air.
"Nanti malam jadi kan buat bakar-bakar? Kalau jadi, pas pulang nanti kita mampir ke supermarket dulu. Gimana?" tanya ku.
Shani mengangguk dengan dirinya yang sibuk menikmati minumannya, lalu mengeluarkan handphone miliknya lalu terlihat sibuk mengetik.
"Kalau begitu ayo kita main sekarang, sudah senja juga, kalau nanti malah ga lama waktu kita di sini," ucapnya.
Dia berdiri dan berjalan mendekat ke arah ku, menarik lenganku untuk ikut berdiri. Aku ikut dengannya yang membawa ku tepat pada bibir pantai, tepat di ujung ombak membawa air, membiarkan kaki kami ini mengenai air.
"Terakhir kali aku ke sini itu ya saat antar Gita pertama kali ke kota ini. Tapi kali ini aku bersama orang yang aku cinta," ucapnya.
Aku tersenyum mendengar itu, menaruh kepala ku pada bahunya bersandar, dengan kami yang sudah duduk pada bibir pantai dengan Shani yang bermain dengan pasir.
"Kamu tau? Kamu adalah orang pertama yang bisa membuat ku jatuh cinta sangat dalam. Dulu aku kira bohong saja jika jatuh cinta akan membuat kita melakukan segalanya, tapi ternyata benar ya?" bisiknya.
"Dulu aku hampir menyerah, aku hampir mengira lebih baik juga jika kita tidak saling mengenal. Tapi ternyata kebalikannya ya? Kali ini aku jatuh dalam sekali," lanjut Shani.
"Kalau anak muda kemarin bilangnya jika putus cinta adalah the sunset is beautiful isn't? Aku harap hal tersebut tidak terjadi pada kita," ucapnya.
"Aku mau pesan minum, kamu ingin apa?" tanyanya.
Aku menoleh padanya yang kini berlutut tepat di depan ku dengan menggenggam tangan ku.
"Mau teh anget aja, sama beli cemilan ya?" balas ku.
Dia berdiri lalu mengecup kening ku sebelum akhirnya berjalan menjauh dari ku yang ikut berdiri untuk duduk pada kursi yang ada pada pantai ini, yang sudah disediakan.
Tidak lama setelahnya dia kembali, membawa dua cangkir minuman dengan cemilan. Setelah dia tepat berada di dekat meja, dia menaruh kedua cangkir itu pada meja, lalu memberikan senyumannya.
Shani kembali duduk, setelahnya bersandar menikmati angin yang menerpa. Lama kami sibuk dalam diam kami masing-masing, setelahnya dia mulai duduk kembali, lalu memutar tubuhnya untuk menghadapku.
"Apa kamu suka pantai?" tanyanya.
Aku tidak menatapnya, masih memejamkan mata ku untuk tetap menikmati hembusan angin yang terus menerpa, tapi mengangguk mendengar pertanyaan darinya.
"Kenapa suka dengan pantai?" tanyanya lagi.
Setelah mendengar itu aku ikut menghadap ke arahnya, melihatnya yang sudah duduk dengan kakinya yang terlipat seperti anak kecil yang siap mendengarkan dongeng dari Ibu-nya.
"Kamu tau? Pantai itu tenang, dulu sebelum aku ketemu sama kamu, aku suka sekali dengan pantai. Berharap pantai itu ikut memanggil ku agar ikut bersama ombaknya, karena Ibu ku suka pantai."
"Ibu selalu bilang, kalau kita mungkin bisa merasakan kehadiran orang yang telah tiada jika kita tau tempat apa yang paling mereka suka. Datanglah ke sana, biarkan rindunya hilang tapi tidak kenangannya."
"Karena itu aku sering ke pantai, walau pantai di sana tidak lebih indah dari pantai yang kita datangi kali ini. Tapi, kenangan dari pantai itu lebih besar dari pantai di sini," ucapku.
Dia menghela napasnya, setelah itu berdiri, berjalan mendekat ke arah ku, membawa perlahan tubuhku untuk ikut dengannya kembali pada bibir pantai.
"Mari kita merindu bersama, lepaskan rindu mu pada pantai ini. Dan aku membantu mu untuk ikhlas dari belakang sini," ujarnya.
Dia berdiri di belakang ku kali ini, memegang bahu ku. Mengusap bahu ku seperti ingin membuat ku tenang atau lebih leluasa karena ada dia di belakang ku.
"Teriak saja, kita jauh dari kerumunan orang. Siapa tau dengan begitu rindu mu menghilang sejenak atau malah selamanya," perintahnya.
"Ibu! Ayah! Biarkan kenangan kalian aku simpan pada sudut hati ku ya? Biarkan juga aku memulai perjalanan hidupku kali ini tanpa kalian melihat segala prosesnya secara langsung," teriak ku.
"Selamat tinggal untuk kalian, terutama kamu. Aku harap kalian bahagia ya? Karena aku sekarang ini sedang berbahagia!" lanjut ku berteriak.
Aku memutar tubuhku menghadap Shani, menemukan dia dengan senyumnya. Dapat ku lihat disenyum itu seperti rasa bangga ikut hadir, setelahnya dia memelukku dengan menepuk pelan punggung ku, lalu melepas pelukan kami.
"Ayo kejar aku!" ucapnya dengan berlari menjauh dari ku.
Aku bingung dengan tingkah kekanakan Shani saat ini, dengan dia memperlihatkan tangannya yang sedang memegang gantungan kunci dengan wajah Earth.
"Shani! Tunggu aku. Suami ku jangan kamu bawa lari, Shani!" teriakku.
"Kejar aku, atau aku buang aja suami kamu?" ancamnya.
Aku berlari mengejarnya, dengan Shani yang sengaja memperlambat langkahnya jika aku masih terpaut jarak yang jauh darinya, setelah aku mulai dekat dia kembali berlari menjauh dariku.
"Oke! Kita buat penawaran saja. Kamu kasih aku itu, dan aku terima apapun permintaan kamu, bagaimana? Deal atau tidak?" tawarku dengan sedikit berteriak.
Shani hanya tertawa, kemudian menggeleng, masih menunjukkan gantungan kunci wajah Earth padaku.
"Aku akan menyerah, sebutkan dulu passwordnya yang benar!" sahutnya.
"Tanggal jadian kita? Tanggal kita ketemu? Tanggal apa?" aku kembali berteriak.
Shani menggeleng, "lalu apa, Shani Dahayu?" teriak ku frustasi.
"Fransisca Anindhita, pacarku dan istrinya Mas Earth. Duniaku, semesta ku, cantikku, dan segalanya untukku!" teriaknya.
"Astaga, sebut begitu apa sulit?" lanjutnya.
"Shani Dahayu, pacarku, duniaku, dan semesta ku. Tentunya cantikku, kemarikan suami ku ya?" teriak ku.
Dia mendekat ke arah ku dengan tangannya yang terus menunjukkan gantungan kunci tersebut, aku tidak menerima benda itu, namun berlari untuk lekas memeluk tubuhnya.
"Kamu kekanakan! Aku cape tau, sekarang malah keringetan kan? Bau deh," ucapku dengan kecewa.
"Tidak masalah, kamu tetap cantik dan wangi. Walau agaknya Earth ga akan mau sama kamu karena berkeringat begini, tapi kalau Earth ga mau sama kamu kan bisa sama aku?" bisiknya lalu terkekeh.
Aku memukul bahunya, menjauhkan tubuhku lalu menatapnya. Lama kami saling tatap, dengan wajahnya yang makin mendekat dengan senyumnya.
"Boleh?" tanyanya.
Aku diam, tidak lama mengangguk menyetujui permintaannya. Kami berciuman, saling melumat menikmati detik demi detik yang berlalu selama kami berciuman.
Aku menjauhkan wajahku, dengan dirinya yang tertawa bangga atas kelakuannya. Akhirnya kami memilih untuk duduk pada bibir pantai, membiarkan kaki kami diterpa air.