🌟
.
.
.
Masih teringat janji yang diucapkan di pinggir pantai beberapa waktu lalu. Janji untuk tidak meninggalkan apapun yang terjadi.Tapi sepertinya Estelle baru sadar, jika kala itu Elior tidak pernah membalas janji tersebut dengan benar. Hanya sebatas ‘iya’ yang tidak menjanjikan apapun.
“Ei, kayaknya habis ini aku bakal benci pergi ke pantai.”
Reine melirik Estelle yang berdiri di sampingnya.
“Benci kenangannya?”
“Nggak. Itu kenangan indah. Tapi rasanya sakit setiap keinget kenangan itu.”
Reine menarik Estelle agar berjalan mendekat ke bibir pantai hingga kedua kaki mereka masuk ke air.
“Dingin Ei!”
“Diem aja. Nanti kebiasa.”
Estelle akhirnya menatap Reine yang terngah tersenyum padanya.
“Coba berdamai dengan rasa sakit itu dan jangan menghindar. Nanti kamu terbiasa. Jangan lemah, hidup di dunia itu keras. Kamu harus terbiasa kuat.”
“Lo juga?”
Reine menyingkirkan rambutnya yang menutupi wajah akibat hembusan angin. Ia lantas mengangguk.
“Dulu ada orang yang bilang bakal ngasih aku kebahagiaan setiap saat. Dia bilang itu waktu kami pergi ke pantai. Padahal bahagia itu relatif. Tapi bodohnya dulu aku percaya. Dan waktu orang itu pergi, aku juga berpikiran kayak kamu.”
“Terus siapa yang ngubah pola pikir lo?” tanya Estelle penasaran.
“Namanya Langit dan Agam. Tapi mereka udah pergi.”
“Kemana?”
“Sama kayak Flower dan Elior,” jawab Reine tenang.
Estelle diam. Ia masih menatap Reine yang tersenyum pada pemandangan matahari yang nyaris menghilang di garis cakrawala.
“Kamu tau kenapa aku sering kabur?”
“Kenapa?”
“Karena aku nggak punya rumah buat berlindung setiap ada masalah. Rumah yang bisa ngasih rasa aman buat aku. Sejak kecil aku nggak punya hal itu.”
“Bukannya kita sama Estelle?” lanjut Reine.
Gadis itu mulai duduk bersila membiarkan tubuhnya sedikit terendam air.
“Ya. Lo bener. Gue selama ini sibuk berteman sama banyak orang tanpa sadar itu semua bentuk pelampiasan akan ketakutan gue. Gue berusaha nyari rumah yang tepat buat gue. Dan begitu gue nemuin rumah itu, nggak lama dia pergi.”
Estelle turut mendudukan diri. Ia benci basah-basahan. Tapi kali ini sepertinya bukan masalah.
“Gimana sama Elyn? Dia sahabat lo kan?”
Reine tertawa sarkas dan menyipratkan air pada wajah Estelle.
“Gimana sama Flower kalau gitu?”
Estelle tercekat. Ia memang tidak pernah menjadikan Flower sebagai rumah taraman baginya.
Ia dan Flower saling melindungi tapi tidak saling pulang ke satu sama lain setiap lelah itu datang. Ia melakukan itu hanya pada Elior.
“Gue kira lo setengah iblis, Ei,” gurau Estelle setelah sekian lama saling diam.
“Langit bilang, aku nggak boleh nunjukin ke siapapun kalau aku lemah. Di kondisiku, orang bisa nyerang aku kalau tau aku lemah. Jadi dia ngajarin aku buat nampilin sisi lain buat nutupin diri dan bikin orang hati-hati sama aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ELLE -La dernière lumière pour l'étoile-
Ficção Adolescente⚠️Bukan lapak untuk plagiat! ⚠️Terdapat adegan kekerasan dan 17+ di beberapa bab. Yang merasa tidak nyaman silahkan diskip ke bab lain ya sayang! "Yang kamu maksud happy ending itu seperti apa sih? Dan sad ending juga seperti apa? Nggak ada bahagia...