4. Luka Paling Pedih

3.5K 284 42
                                        

SELAMAT MEMBACA ❤️

(Direkomendasikan sambil mendengarkan
Fourtwnty - Aku Tenang)

---------------------

"Aku masih belum mengerti tentang apa dan bagaimanakah sebuah hidup yang layak. Yang selalu menjadi pertanyaan dalam hatiku hanyalah satu. Apakah aku layak untuk hidup?"

-Sapta Sadana-

Hujan semalam belum sepenuhnya reda. Berbagai macam alat dapur yang bertebaran di setiap sudut rumah, menjadi alat penampung air hujan yang menetes dari atap rumah.

"Buku aku kena bocor, Bang." adu Sapta pada Kara yang tengah melipat selimut.

"Banyak banget, nggak? Abang masih ada buku baru. Kamu butuh?"

Sapta menggeleng. "Masih bisa di pake, kok. Aku tunggu di luar ya, Bang?"

Saat Sapta akan keluar, Kara menahannya. "Ta, minta anter sama Mas Raga aja. Ini hujan!" perintah Kara.

Sapta merengut. "Tapi, nanti Abang sendirian ..."

Kara terkekeh. "Ta ... Ta. Abang tuh udah gede. Udah, kamu minta anter siapa gitu."

"Tapi-"

"Ta, nurut kata Abang!" tegas Kara yang membuat Sapta akhirnya mengangguk.

●○•♡•○●

Dua orang yang dipaksa dewasa sebelum waktunya, tengah mengubah posisi dalam rumah untuk di amankan dari kebocoran atap. Raga yang tengah mengepel lantai, dan Mas Abi yang sedang mengamati titik mana saja yang menjadi sumber bocor.

"Kayaknya genteng geser lagi deh, Mas." ujar Raga.

Mas Abi mengangguk. "Iya, Ga. Nanti hari Minggu Mas benerin."

"Raga minta tolong Dika aja. Nanti biar Raga sama Dika yang benerin." kata Raga.

"Kamu itu baru cedera punggung! Nggak ada! Tunggu Mas aja!"

"Dika yang naik kok, Mas." kata Raga.

Mas Abi menatap Raga. "Mau emang itu anak?"

Raga mengangguk. "Mau. Udah Raga bilang semalem. Dia bilang oke oke aja. Tapi, pas dia pulang dari kampus."

Mas Abi tersenyum tipis. "Mas bangga banget sama Dika, juga Sena. Mereka bener-bener berjuang buat masa depan mereka. Mas ngerasa bersalah banget karena nggak bisa ngasih kalian kehidupan yang layak." lirih Mas Abi.

"Justru kita semua yang bangga sama Mas. Mas sanggup mengemban peran dan bertanggung jawab buat kita semua, disaat Mas sendiri aja masih butuh perhatian dan kasih sayang lebih. Mas nggak perlu ngerasa bersalah. Untuk ekonomi, mungkin kita semua kekurangan. Tapi, untuk kasih sayang, kita usahakan penuh buat adik-adik kita ya, Mas?" tutur Raga menenangkan.

Tanpa aba-aba, Mas Abi langsung memeluk Raga. "Mas paling bangga sama kamu, Ga. Kamu tuh ibarat separuh dari hidup Mas. Karena, sebelum ada yang lain, Mas udah terlebih dulu hidup sama kamu. Makasih karena udah jadi penyangga buat Mas saat Mas ngerasa bener-bener capek. Makasih banyak, Ga. Mas sayang sama kalian berenam."

Raga menepuk punggung Mas Abi, lalu melepaskannya secara perlahan.

"Mas, aku boleh minta anter ke sekolah, nggak?"

Suara si bungsu Sapta memecah kesenduan diantara mereka berdua.

"Abang kemana? Mau ikut bareng nggak?" tanya Raga.

IN THE END ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang