Happy Reading!!
"Bagaimana dengan rencana ini? Apakah masih berjalan lancar?"
Lagi-lagi di ruangan gelap namun mewah. Terdapat banyak orang-orang kalangan atas yang tengah membicarakan sesuatu.
"Sejauh ini masih baik, Ayah," jawab seseorang.
"Syukurlah." Seorang wanita paruh baya menimpali.
"Baiklah. Tapi ingat, jangan berlebihan, Vincent," titahnya.
"Baik, ayah. Aku selalu menjaga Achera di belakang. Tapi, kemarin aku mendapat kabar dari bawahanku," pungkas Vincent.
"Kabar?" beo Axel, seseorang yang Vincent panggil Ayah.
"Achera memukul kepala teman sekelasnya dengan kursi lalu menuangkan lem kayu ke kepalanya. Bawahanku berkata jika Achera seperti itu karena siswi tersebut telah merendahkannya," jelas Vincent.
Tampak rahangnya mengeras mengingat itu. Anak kesayangannya dihina. Namun ia bisa apa? Mungkin anaknya sudah terlanjur membencinya.
"Lalu? Apa tidak ada pihak sekolah yang mengetahuinya?" cemas Rhee, istri dari Axel.
Vincent sedikit tenang sekarang. Ia malah terkekeh bangga.
"Achera mengancam siapapun yang melihatnya," ucapnya bangga.
"Anakmu berubah, Vincent. Apa kau tidak takut ia akan menjauh darimu suatu saat?" tanya Rhee.
Vincent menghela nafas, "tentu saja aku takut. Tapi itu pilihannya. Lagipula kita semua yang memutuskan menggunakan rencana ini."
"Memang benar, kita sengaja mengabaikan Achera dan memperlakukan Celia dengan spesial agar musuh kita terkecoh dan menjadikan Celia sebagai sandera, bukan Achera. Tapi, aku paham betul rasanya diabaikan. Sakit, sangat sakit. Aku yakin, kita semua telah merusak mentalnya, sedikit demi sedikit," tutur Rhee yang menyadarkan semuanya dari rasa bangganya.
"Aku harap, Achera akan mampu memaafkan kita jika ia tahu kebenarannya nanti. Karena, cepat atau lambat, ia pasti akan mengetahuinya," sambung Clarissa menahan tangis.
"Dia bahkan sudah berhenti berharap," lirih Vega.
Satu keluarga besar yang tengah berkumpul itu tidak bisa membantah apa yang diucapkan Rhee, Clarissa, juga Vega.
Axel mengelus tengkuknya merinding, ia merasa seperti ada yang sedang membicarakannya.
Tapi di dimensi yang lain, Achera malah menyimak pembicaraan mereka lewat cctv yang diretas Damian sambil menyeruput coklat panas.
Achera tertawa hingga hampir tersedak.
Menurutnya lucu, melihat satu keluarganya besar yang mati-matian melindungi tubuh ini yang bahkan bisa menang melawan mereka semua sendirian.
"Ya, lakukan sesuka kalian, aku akan mengikuti alurnya saja," cibirnya.
"Aku tebak sebentar lagi mereka akan memberi tahu yang sebenarnya, tapi aku sudah tahu. Terserah mereka sajalah."
Achera menutup laptopnya, membuang gelas, kemudian pergi menuju dunia mimpi.
✧\(>o<)ノ✧
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm the Antagonist's
FantasyAngin malam berbisik lembut. Mengalun, membuat daun-daun menari dengan teratur. Gelap, tetapi indah. Malam ini, malam di mana Sang Malaikat Maut Cantik akan mengambil satu nyawa. Elleonore, auranya bak dewi kegelapan. Rambutnya hitam legam. Mata taj...