Kembali pada titik dimana semua dimulai. Sendiri.
Aku kadang bingung harus seperti apa. Apakah sabar itu adalah diam? Bila seperti itu maka aku harus lebih kuat dari pada batu yang hanya diam. Seperti biasanya aku tetap melayanimu sebaik ku bisa. Dan aku tidak tahu bagaimana kamu menerima semua itu. Apakah ada rasa curiga atau biasa saja? Aku selalu ingat kamu selalu berkata aku biasa saja, aku tidak apa - apa, tapi kamu bohong. Dirimu tidak sepandai kelihatanya, dirimu selalu jujur menunjukkan situasimu.
Aku ingin berdamai. Dan inilah aku, mungkin jalan yang kita tempuh belumlah nyata seperti dikisahkan oleh risalah sebelum kita. Tapi, rasa tetaplah rasa. Mungkin sesuatu yang diawali dengan tidak baik akan berakhir juga pada waktunya. Aku rasa seperti itu. Padahal aku sudah memilih untuk pilihanku tapi Tuhan berikan pelajaran bahwa sesungguhnya semua hanya memulai untuk usai. Apakah kamu sadar?
Kemarin hal ini sempat ku pikirkan. Namun, ku kira semua hanyalah angan yang masih ambigu tapi ternyata itu nyata. Tuhan berkehendak. Tuhan adil doaku dikabulkan baik, dan doanya dibalas baik. Mungkin inilah jawaban atas perjalanan yang sempat kita lalui. Bukankah begitu? Bukanya aku sudah begitu jujur dihadapanmu dengan penuh yakin bahwa Tuhan akan memihakku. Tapi, nyatanya kuasaku hanyalah sebatas kata yang tidak pernah sampai, hanya karena perasaan yang tak aku tahu alasanya. Orang tua kita berbeda pendapat, aku bisa bersikap baik atas itu. Tapi, Nona cantik apakah kau siap menerima luka yang tak pernah kau rasa sebelumnya? Aku hanya ingin kita saling berkata jujur.
Bukanya kita memulainya dengan baik dan penuh suka cita? Memang cinta tidak akan berarti bila tidak ada imbuhan me-. Dan mencinta tidak akan bermakna bila tanpa "siapa?". Dan sesungguhnya aku sudah mengisi semua pertanyaan yang ada. Hanya saja, pada akhirnya nilaiku tidak sempurna dimata mu?
Apakah ini tragedi? Aku juga tidak mengerti, hanya saja hatiku berkata bila kita teruskan lebih dari ini maka akan ada luka yang bersambung hingga akhir nyawa. Aku tidak setega itu. Aku ingin kamu tumbuh jadi dewasa dan menjalin rumah tangga yang bahagia. Mungkin aku akan berkelana, menggapai impian yang sudah kita rencanakan sendiri. Yah.. setidaknya aku merasakan hal baik bersama mu. Mungkin aku akan sampai dimana anganmu berpikir. Kita tidak mencari kemenangan, tidak juga mengalahkan bukan? Kita hanya ingin tertawa bersama.
Kamu tahu syukurku? Iya syukurku atasmu. Mari berbahagia untuk hari ini. Malam ini, setelah kita saling menari dan sampaikan harap yang pada akhirnya hanya diujung tatap tapi setidaknya kita pernah. Bukanya kamu bersyukur? Bila kecewamu begitu sangat, bukanya aku salah mengajakmu berjalan berdampingan denganku?
Senyumu itu seharusnya akan tetap hidup seperti senja yang tidak pernah padam sampai akhir hayat. Tataplah, lautan bila kamu bergi ke kota yang menyajikan pemandangan segara. Aku ada disana bersamamu, diujung senja yang semu. Di ujung senja yang akan berulang menyapamu. Aku bukanlah kalimat yang tak usai. Aku hanyalah buku yang tak pernah selesai kamu baca. Ingatlah, bila mentari itu menyingsing sore dan menerpa pipimu ada ciumanku yang tertitip disitu. Tidak usah menolaknya, karena itu anugrah yang mungkin hanya satu. Bila kita berjumpa dilain waktu, sedialah untuk menyapaku dulu. Karena mungkin aku malu melihatmu. Kamu, tumbuhlah. Masih ada waktu untuk menjadi dirimu. Aku hanyalah kata yang menjadi pelajaran, aku hanya indah bila tidak kau rengkuh. Aku hanyalah benci bila kau kukuh. Aku lah itu. Senyumlah sebelum engkau tidur untuk terakhir kalinya.
Perasaanmu akan selalu hidup. Dan ingatamu padaku akan selalu nyata. Itulah segara.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH 100 HARI
FanfictionTulisan ini adalah tentang perasaan yang hadir dan mengusik pikiran. Entah itu tentang suka, duka, bahagia bahkan keabsurd-an. Aku mencoba untuk merekam apa yang bisa ditulis dalam #100 hari kedepan. Tidak ada pemeran utama, kecuali perasaan ini. D...