Jilid Kedua

227 29 2
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Pada dasarnya pembangkang bukanlah sifat, melainkan sikap. Suatu tindakan yang diperbuat saat kondisi terdesak."

Assalamualaikum, Umi, Abah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Assalamualaikum, Umi, Abah ...,

Sedikit tidak sopan karena harus berpamitan melalui secarik kertas, Astha pamit dan mohon izin untuk mencari keberadaan orang tua kandung Astha. Insyaallah, Astha akan kembali ke pesantren dan memenuhi permintaan Umi dan Abah, kalau sudah berhasil bertemu dengan orang tua kandung Astha.

Wassalamu'alaikum ....

Harastha menyimpan surat tersebut di atas tempat tidur, setelah selesai mengemas pakaian dia segera keluar, berusaha tak bersuara dan mengendap-endap agar bisa lolos dengan mudah dari lingkungan pesantren, yang notabenenya cukup ketat dalam hal penjagaan.

Ini adalah kali pertama baginya, bertingkah di luar dari kebiasaan ternyata tidaklah mudah. Menjadi pembangkang juga ternyata susah, dia sudah sangat terbiasa menjadi sosok penurut yang patuh akan aturan.

Akan tetapi lihatlah sekarang?

Jiwa pemberontak dalam diri yang tengah terlelap, seolah dibangunkan secara mendadak.

"Mau kabur ya? Yes, saya ada temannya."

Harastha terperanjat dan spontan menutup mulut agar tak menimbulkan suara, saat mendapati seseorang yang tak tahu malu langsung berdiri di sisinya.

"Maaf jaga jarak aman, bukan mahram!" tutur Harastha lalu menggeser tungkainya.

Dia merasa heran, sangat amat heran. Bisa-bisanya santri putra berada dalam lingkungan asrama putri. Padahal ranahnya sudah jelas terpisah, saling berseberangan malah. Dipisahkan oleh pagar tinggi yang tidak bisa diakses oleh sembarang orang.

Pemuda dengan kisaran usia 18 tahun itu pun mengangkat kedua tangannya dan sedikit menyingkir. "Oh, oke."

"Lain kali kalau mau kabur, jangan salah pilih outfit. Dikira baju gombrong kebesaran itu bisa digunakan dalam segala kondisi. Pake celana, supaya gampang!" imbuh pemuda tersebut seraya menilik penampilan Harastha dari atas hingga bawah.

"Maaf saya tidak membutuhkan sumbang saran dari Anda."

Pemuda bernama Hazami itu pun mendengus pelan. "Dikasih tahu juga, malah nyolot!"

Harastha tak menyahut, dia lebih memilih untuk memikirkan cara agar bisa segera meninggalkan pesantren tanpa diketahui oleh Hamidah dan juga Bima.

Tanpa Harastha sadari, Hazami sudah lebih dulu bertindak. Terlihat pemuda itu telah membobok tembok yang diperkirakan muat untuk dilewati orang dewasa.

Saking banyaknya akal, Harastha sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan pemuda di depannya. Dia seolah sudah sangat matang mempersiapkan ini semua. Bahkan, tembok yang sudah dirusak pun sengaja disamarkan dengan sangat apik.

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang