Jilid Ketigapuluh Lima

182 42 44
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Luka jika terus dikuliti akan berdampak kurang baik, bahkan bisa membekas dan melebar tanpa pernah kita sadari."

Setibanya di rumah sambutan hangat Hamidah berikan, bahkan wanita tua itu pun dengan penuh kasih sayang menghadiahi Harastha pelukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setibanya di rumah sambutan hangat Hamidah berikan, bahkan wanita tua itu pun dengan penuh kasih sayang menghadiahi Harastha pelukan. Beberapa kali dia mengecup puncak kepala perempuan yang sudah dia anggap seperti cucu kandungnya sendiri itu.

"Niqabnya ke mana, Nak?" tanya Hamidah lembut kala menyadari, sedari tadi Harastha memegang erat pashmina yang dikenakannya agar tetap menutupi wajah yang tak terhalang cadar.

Harastha hanya menggeleng kecil. "Ini rumah siapa, Umi?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Hamidah tersenyum dengan sangat lebar lantas berujar, "Rumah orang tua kandung Astha atuh. Siap ketemu sama mereka? Abah juga ada di dalam lagi pada asik ngobrol."

Perempuan itu menatap Hamidah dengan tatapan yang tak terbaca. "Umi sedang nggak bercanda, kan?"

Dielusnya puncak kepala Harastha. "Ya serius atuh."

Harastha justru terdiam, dan menatap hunian yang bisa dibilang cukup luas tersebut. Rumah yang didominasi oleh warna cream itu sangatlah asing, karena memang ini merupakan kali pertama dirinya menginjakkan kaki di sini.

"Ustazah bisa memakai ini, saya tahu sedari tadi Ustazah tidak nyaman dan merasa tak aman akan pandangan orang-orang sekitar," ungkap Hazman yang baru saja keluar dari dalam rumah, dan menyerahkan sebuah cadar milik Hamna, yang selama ini hanya mangkrak di dalam lemari.

Harastha menerimanya tanpa banyak bicara, dengan dibantu Hamidah dia pun akhirnya bisa kembali mengenakan kain suci tersebut.

"Saya akan ganti nanti, terima kasih Ustaz."

Hazman hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

Dengan diapit oleh Hamidah serta Naqeesya, Harastha pun berjalan secara perlahan untuk memasuki rumah. Sedangkan Hazman dan Hazami lebih dulu jalan di depan mereka guna membukakan akses masuk selebar mungkin.

Tubuh Harastha membatu di tempat kala matanya bertemu dengan Hamna, yang menatapnya dengan sangat dalam serta dihiasi cairan bening yang siap untuk ditumpahkan.

Tungkai perempuan bercadar itu sudah siap untuk berputar arah, tapi dengan cepat ditahan oleh Hamidah. Sedangkan Harastha menatap penuh tanya pada sang umi, debaran di dadanya benar-benar tak bisa dikendalikan. Detakannya begitu kuat, hingga terasa mampu melemaskan sendi-sendi tubuh. Jika bukan karena adanya Hamidah dan Naqeesya, mungkin dia akan oleng saat itu juga.

Hamidah menggenggam kuat tangan Harastha, dia tatap cucu angkatnya dengan sangat lekat. "Di depan sana ada Papa sama Buna, orang tua kandung yang selama ini Astha cari-cari, Nak."

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang