Jilid Ketigapuluh Enam

210 39 13
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Menegur dengan masih memperhatikan kosakata dan tatanan bahasa adalah cara paling ampuh supaya tidak menyinggung pihak mana pun."

"Kalau nggak salah ingat Astha pernah bilang kayak gini sama Umi, 'Buat apa Astha menghakimi mereka, bahkan untuk membencinya pun nggak pernah terbesit dalam pikiran Astha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau nggak salah ingat Astha pernah bilang kayak gini sama Umi, 'Buat apa Astha menghakimi mereka, bahkan untuk membencinya pun nggak pernah terbesit dalam pikiran Astha. Kalau memang niat Astha seperti itu, Astha nggak mungkin mau repot-repot mencari keberadaan mereka dan meninggalkan Umi begitu saja. Malah Astha bersyukur, karena kejadian itu Allah pertemukan Astha dengan Umi dan juga Abah'. Bener nggak sih, atau hanya perasaan Umi aja?" katanya di tengah perjalanan pulang.

Harastha memilih diam, tapi kepalanya dia jatuhkan di pundak Hamidah. Dengan lembut Hamidah pun menghadiahi elusan penuh kasih sayang di sana.

"Umi memang nggak tahu sesakit apa luka hati Astha, karena Umi nggak pernah merasakan ada di posisi Astha. Tapi Umi percaya, kalau cucu Umi yang shalihah ini nggak mungkin tega menyakiti orang lain, terlebih orang itu berstatus sebagai orang tua kandungnya sendiri."

"Terlepas dari semua yang sudah terjadi, bisakah Astha berpikir ulang untuk mempertimbangkan keputusan yang sudah Astha ambil?" tutur Hamidah sehati-hati mungkin.

Dia kecup singkat puncak kepala Harastha, lalu menggenggam hangat kedua tangannya. "Bisa nggak kita berhusnuzan sama Allah dulu?" katanya lagi.

"Maksud Umi?" Kepalanya mendongak, dan dia pun menarik diri agar duduk tegak seraya menatap Hamidah.

"Kalau seandainya Hamizan nggak salah paham, dan berasumsi Astha ada affair sama Hamzah, mungkin sekarang kalian sudah menikah karena Hamna nggak punya alasan kuat untuk menolak menantu seperti Astha. Sudah mah cantik, shalihah-nya nggak kira-kira pula."

"Umiii ih, malah bercanda. Terbang ini hidung Astha karena kebanyakan dipuji," selanya yang dihadiahi kekehan ringan.

"Coba Astha bayangin nikah sama saudara kembar sendiri? Naudzubillah, jangan sampai atuh. Ini adalah skenario Allah, sebuah cara untuk mengungkapkan kebenaran. Mungkin kalau nggak ada kejadian terciduk warga, sampai sekarang pun Astha belum tahu tentang fakta kedua orang tua kandung Astha. Bener nggak?"

Hamidah menjeda kalimatnya, sebisa mungkin dia berusaha untuk membuka pikiran Harastha tanpa harus beradu urat, ataupun memaksa untuk memahami takdir dengan cara instans.

"Sekarang Umi tanya sama Astha. Apa yang akan Astha lakukan kalau berada di posisi Buna? Ditelepon mendadak karena putranya dituduh melakukan tindakan tak senonoh, dan didesak untuk melangsungkan akad dengan perempuan yang diduga sebagai selingkuhan dari suaminya. Coba, apa nggak naik darah Bunanya."

"Walaupun Umi juga nggak bisa membenarkan tindakan Hamna yang sudah kasar memperlakukan Astha, mengucapkan hal-hal yang tidak pantas, tapi namanya juga manusia yang lagi emosi. Mana bisa dia berpikir dengan jernih, iya, kan?" tuturnya lagi.

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang