Jilid Kesembilan

173 31 6
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Di saat raga tidak lagi bisa bersua, di saat mata tidak lagi bisa saling menyapa, hanya doa yang mampu menembus surga."

Harastha mengelus lembut nisan bertuliskan nama Haleeza Awaliyyah yang berada persis di sisi Hanin, yang tidak lain merupakan tantenya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Harastha mengelus lembut nisan bertuliskan nama Haleeza Awaliyyah yang berada persis di sisi Hanin, yang tidak lain merupakan tantenya.

"Dulu setiap kali Umi mengajak aku ke sini, aku hanya sebatas tahu kalau kamu adalah putrinya Bang Haikal. Tapi ternyata kamu lebih dari itu, kita saudara kandung ya?"

Dia mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam. "Kata Umi kita ini mirip, benarkah?" rancaunya diakhiri kekehan, tapi setetes air mata meluncur bebas tanpa mampu dicegah.

"Maaf ya, ternyata ibu kandungku ikut andil dalam peristiwa naas yang menimpa kamu. Aku nggak keberatan, sekalipun sekarang harus tinggal berjauhan dengan mereka. Aku justru merasa lega, setidaknya aku bermanfaat dan bisa menyelamatkan kedua orang tuaku dari hukuman."

"Haleeza, kita memang belum pernah bertemu tapi aku harap tempat peristirahatan terakhir kamu, bisa menjadi perantara pertemuan aku dengan orang tua kandungku. Kamu yang tenang di sana, insyaallah aku selalu mendoakan kamu, Bang Haikal, dan juga Tante Hanin. Semoga Allah menempatkan kalian di tempat terbaik ya," tuturnya sangat amat tulus.

Harastha meletakkan rangkaian bunga tepat di tengah-tengah nisan Haleeza. "Aku pamit ya, insyaallah aku akan semakin rutin mengunjungi kalian."

Dia pun bangkit, menatap cukup lama ke arah tiga makam yang saling bersebelahan. "Semoga bukan hanya nisan kalian yang berkumpul di dunia, tapi di akhirat pun kalian kekal bersama di sisi Allah."

Tak lupa dia kembali membawa keranjang yang tadi digunakan untuk menaruh bunga serta air yang sengaja dibelinya di dekat pintu masuk.

Terlalu asik menunduk, Harastha tanpa sadar menabrak seseorang. Dia pun sedikit limbung, tapi dengan sigap tangannya ditarik oleh orang tersebut.

"Maaf atas kecerobohan saya, Bu," ujar Harastha merasa tidak enak.

Wanita yang sudah tidak muda lagi itu tersenyum begitu ramah. "Saya pun jalannya kurang hati-hati, maaf."

Harastha mengangguk pelan dan tersenyum di balik cadarnya. Dia sedikit tersentak saat orang asing yang pertama kali ditemuinya itu, tanpa izin membelai wajah serta menatap matanya sangat lekat.

"Cantik," gumamnya samar-samar, tapi masih bisa Harastha dengar.

Dengan gerakan pelan, dia mencoba untuk menjauhkan tangan wanita paruh baya tersebut. "Maaf, Bu, saya sedikit tidak nyaman atas tindakan Ibu."

Anggi seketika sadar sepenuhnya, dia terlalu merindukan sang cucu sampai begitu lancang menjamah wajah perempuan bercadar di depannya, yang memiliki mata serupa sebagaimana yang cucunya miliki.

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang