Jilid Kelimabelas

174 30 8
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jangan terlalu dini dalam menyimpulkan, telaah terlebih dahulu untuk memastikan kebenaran."

Langkah lebar Hamizan tertahan kala dirinya menangkap sosok yang begitu familiar dari pandangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langkah lebar Hamizan tertahan kala dirinya menangkap sosok yang begitu familiar dari pandangan. Matanya melebar seketika saat menyadari sang ayahlah yang terlihat tengah asik bercengkrama di depan sana.

Rahangnya mengencang tanpa bisa dicegah saat menyadari kehadiran seorang wanita yang tidak begitu asing menyapa netra, dia seakan pernah menjumpai perempuan bercadar dengan balutan abaya dan khimar hitam tersebut.

Tanpa kata dia memutar haluan, bergegas untuk menjauh. Ada sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar memergoki sang ayah yang tengah asik berduaan dengan seorang wanita.

Sang ibu tercinta, hanya Hamna yang saat ini dipikirkan oleh pemuda itu.

Kaki jenjangnya kian bergerak cepat saat mendapati sang ibu yang kian mendekat. Dia putar tubuh Hamna dan merangkulnya lembut seraya berkata, "Pindah resto yuk, Buna."

Hamna mendongak dan menahan diri untuk tidak melangkah. "Katanya Abang mau makan ramen, kok nggak jad---"

"Ayam geprek buatan Buna jauh lebih menggiurkan. Makan ramennya lain waktu aja ya?"

"Nggak biasanya Abang plin-plan kayak gini. Ada apa hayoh?"

Hamizan tipikal orang yang teguh akan pendirian, termasuk dalam hal sesederhana memilih makanan. Jika sudah menginginkan A, dia tidak akan tergiur dengan apa pun sekalipun sudah tersaji di depan mata.

Hidupnya sudah ditata dengan sedemikian rupa, sudah ter-planning serapi mungkin, tidak ada istilah berubah pikiran. Maka tak heran jika sang ibu, mempertanyakan kejanggalan yang dirasa.

"Abang mau meniru Hazami yang apa-apa dilakukan secara spontanitas. Menjadi sosok yang sedikit melenceng dari kebiasaan nggak papa, kan?"

Hamna pun manggut-manggut. "Tapi nanggung atuh, Bang, kita udah di sini. Take away aja, sekalian beli buat Papa sama Azam."

Hamizan pun mengangguk pasrah, dia paling tidak bisa menolak keinginan sang ibu. "Boleh, tapi Buna tunggu di mobil ya? Antriannya pasti lama, lagi ramai juga. Buna paling nggak suka nunggu, kan."

"Tanpa Abang minta pun Buna yang akan menawarkan diri buat nunggu di mobil," sahutnya diakhiri kekehan.

Hamizan bernapas lega dibuatnya. "Kunci mobilnya sama Buna, kan?"

Hamna merogoh tasnya lalu memperlihatkan sebuah kunci pada sang putra. "Lupa kayaknya nih Abang, kan tadi Buna ditinggal sendiri di parkiran karena Abang yang nggak tahan mau ke toilet."

Hamizan pun terkekeh kecil. "Iya nih mendadak pikun. Tadi, kan Abang buang hajat dulu ya."

Ditepuknya lembut bahu Hamizan. "Masih muda penyakit lupanya jangan dipelihara ah, nanti kayak Papa."

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang