Jilid Keduapuluh

132 23 6
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Dalam Islam perempuan sangat amat dimuliakan. Maka dari itu jangan pernah merasa rendah diri hanya karena perkara duniawi."

"Maaf Ustaz jika permintaan saya sedikit lancang, meminta untuk bertemu berdua padahal saya tahu bahwa ini tidaklah dibenarkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maaf Ustaz jika permintaan saya sedikit lancang, meminta untuk bertemu berdua padahal saya tahu bahwa ini tidaklah dibenarkan. Mau bagaimanapun kita bukanlah mahram," tutur Harastha sebagai pembuka.

Mereka tengah berada di serambi masjid, duduk cukup berjarak dengan pandangan lurus tanpa sedikit pun saling mencuri pandang. Mereka sama-sama paham, dan saling menjaga satu sama lain.

"Ustazah bisa memanggil saya Hazman, tidak perlu terlalu kaku. Lagi pula saya belum layak untuk menyandang predikat sebagai ustaz," sela Hazman.

"Jika memang seperti itu, berhenti memanggil saya ustazah karena saya pun tidak memiliki kelayakan untuk menyandang predikat tersebut."

Hazman terkekeh kecil. "Ustazah mengikuti saya, tidak kreatif sekali."

Harastha tak menyahut, pandangannya kian lurus ke depan menyaksikan lalu lalang beberapa santri.

"Saya ingin mengajukan sebuah syarat yang harus Ustaz Hazman penuhi sebelum menikahi saya," katanya kemudian.

"Apa itu?"

"Mungkin Umi dan Abah sudah cukup banyak menceritakan ihwal latar belakang saya, dan saya ingin menikah dengan disaksikan oleh kedua orang tua kandung saya, di mana harus ayah sayalah yang menjadi wali. Kendalanya saya tidak mengetahui keberadaan mereka, dan saya mengajukan syarat ini untuk Ustaz Hazman pen---"

"Mencari keberadaan orang tua Ustazah syaratnya?" potong Hazman.

Harastha mengangguk kilat. "Semakin cepat Ustaz menemukan mereka, maka akan semakin cepat juga pernikahan dilangsungkan."

"Saya akan mengusahakan tapi saya tidak bisa menjanjikan akan cepat."

Lagi-lagi Harastha mengangguk paham.

"Apa Ustazah bersedia untuk menemui keluarga saya?"

Sontak Harastha pun menoleh cepat. "Untuk apa?"

"Restu dan rida orang tua adalah hal paling utama bagi saya, terlebih saya akan melangkah ke jenjang pernikahan yang di dalamnya bernilai ibadah. Saya ingin beribadah dengan tenang agar berbuah pahala."

"Kapan?"

"Ustazah bisanya kapan? Saya akan mengikuti apa pun keputusan Ustazah."

"Seyakin apa Ustaz dengan perjodohan ini?" tanya Harastha kemudian.

Hazman tersenyum tipis. "Saya percaya tidak ada yang namanya yakin 100%, terlebih kita tidak saling mengenal satu sama lain. Bahkan terlibat obrolan pun baru sekarang, bukan? Akan tetapi, saya percaya dengan pilihan Pak Kiyai dan juga Bu Nyai. Saya lillahi ta'ala menerima perjodohan ini."

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang