Jilid Keduapuluh Sembilan

151 28 18
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Namanya juga musibah, datangnya tanpa aba-aba dan permisi terlebih dahulu."

Langkah Harastha kian dipercepat saat dia menyadari ada orang misterius bertopi hitam menguntitnya secara terang-terangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langkah Harastha kian dipercepat saat dia menyadari ada orang misterius bertopi hitam menguntitnya secara terang-terangan. Hari yang menunjukkan sudah malam, membuat dia merasa sedikit risau. Pasalnya, jalanan memang sesepi itu.

Dia merendahkan tubuhnya, berjongkok sejenak seolah tengah membetulkan tali sepatu, padahal tangannya dengan gerakan cepat mengantongi sebuah batu. Menoleh sekilas, dan tanpa pikir panjang lagi dia lempar batu tersebut tepat mengenai kepala si penguntit.

Suara pekikan cukup terdengar nyaring, saat itu juga dia berlari sekencang mungkin. Tidak ada yang bisa menolongnya, selain Allah dan dirinya sendiri. Maka dari itu, dia harus berusaha keras untuk bertumpu pada kakinya sendiri.

Dirinya memang dibekali ilmu bela diri, tapi rasanya tidak yakin untuk melawan sang penguntit. Karena dia tidak pernah tahu, ada senjata apa yang dibawa olehnya. Yang saat ini ada di kepalanya, hanya berlari secepat mungkin untuk bisa sampai rumah dengan selamat.

Karena minimnya penerangan jalan, tungkai perempuan bercadar itu terperosok lubang yang berukuran cukup besar, mengakibatkan dirinya harus tersungkur mencium aspal dengan kondisi yang cukup mengenaskan. Terlebih abaya yang dikenakannya pun memang menyapu jalan, semakin komplitlah penderitaannya.

"Akkkhhh," ringis Harastha kala menyadari telapak tangannya luka akibat tergores aspal, tak ketinggalan kaki kirinya pun berdenyut nyeri, sudah bisa dipastikan jika pergelangan kakinya terkilir dengan disertai luka membiru.

Tak lama dari itu suara tawa dari arah belakang terdengar cukup nyaring. Refleks Harastha pun menoleh, dan melihat si penguntit yang tengah melepas topinya.

"Karma is real, Harastha," ungkapnya lantas berjongkok, menertawakan nasib naas yang menimpa perempuan bercadar tersebut.

Wajah Harastha memerah seketika saat menyadari, orang misterius bertopi hitam itu ternyata Hamizan. Si penguntit tak tahu diri, yang secara tidak langsung merupakan dalang di balik musibah yang dialaminya.

"Sudah puas menertawakan saya?" sinis Harastha.

Memang benar adegan jatuh lantas ditolong dan diobati hanya sekadar ada di dunia fiksi, di dunia nyata ya seperti ini. Ditertawakan dulu sampai dirinya benar-benar merasa puas.

"Perlu bantuan saya?" tawarnya berbasa-basi.

"Tidak perlu, terima kasih," tolak Harastha telak.

Harastha berteriak histeris saat tangan Hamizan tanpa izin menarik pakaiannya, hingga dia pindah posisi jadi bersandar di bawah pohon rindang.

"Saya hanya membantu kamu, itu adalah cara paling aman agar kita tidak saling bersentuhan," katanya kemudian.

Harastha menggeram tertahan. "Anda punya mulut bukan? Gunakanlah dengan baik dan benar, izin terlebih dahulu jangan asal. Kamu kira saya ini kucing yang bisa diperlakukan seperti tadi?!"

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang