بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sedang berada di era orang lain seperti saudara, dan saudara seperti orang lain."
Harastha menatap penuh tanya saat Zanitha menyerahkan sebuah kamera yang tersembunyi apik di dalam tas. "Ini untuk apa, Tante?"
"Untuk Astha bawa pulang, harus dipakai supaya keahliannya semakin terasah."
"Apa ini nggak berlebihan? Astha orang baru lho, bahkan kenal aja baru beberapa jam lalu," ungkap Harastha cukup bingung.
Zanitha malah tertawa kecil. "Kok ngomongnya gitu, kan katanya Astha mau memberikan yang terbaik untuk bisnis kami, maka dari itu Tante beri fasilitas ini. Ya, walaupun itu kamera lama, tapi insyaallah masih berfungsi dengan baik. Terima ya."
Dia pun akhirnya mengangguk lemah. "Makasih banyak ya, Tan. Sepertinya kamera ini punya kenangan tersendiri bagi Tante? Tasnya juga custom, lucu ada namanya."
Zanitha terkekeh kecil. "Bisa dibilang begitu, dijaga baik-baik ya kameranya."
"Insyaallah," jawabnya singkat.
Harastha terpusat pada tulisan yang ada di tas tersebut, keningnya mengernyit penasaran. Namun, dia berusaha untuk mengenyahkan hal tersebut.
"Kamera itu pemberian dari teman baik Tante, tulisan di sana merupakan inisial nama beliau," terang Zanitha tanpa diminta.
Harastha pun manggut-manggut kecil.
"Assalamualaikum!"
Fokus keduanya teralihkan seketika saat mendengar suara salam yang begitu nyaring memekakkan telinga.
"Wa'alaikumusalam, jangan teriak-teriak atuh," sahut Zanitha lembut.
Sedangkan Harastha merasa cukup dengan menjawab salamnya dari dalam hati saja.
Perempuan muda yang kini sudah menginjak usia 20 tahun itu terkekeh kecil. "Sudah kebiasaan, agak susah dihilangkannya, Bun."
Zanitha menggeleng beberapa kali. "Maafkan Putri Tante ya, agak ceriwis memang anaknya," ujarnya pada Harastha.
Lagi-lagi Harastha mengangguk pelan.
Tanpa rasa malu dan sungkan dia duduk di sisi Harastha lalu mengajaknya untuk bersalaman. "Salam kenal, Naqeesya Dilara Hirawan, putri semata wayang Ayah Dipta dan Bunda Zani."
Perempuan bercadar itu pun menyambut hangat uluran tersebut. "Harastha Razqya," sahutnya begitu singkat.
Naqeesya manggut-manggut. "Teh Harastha kenalan Bunda ya? Kok, Sya baru tahu sih. Apa teman lama, Bunda?"
"Bukan, saya hanya sebatas karyawan baru Bu Zanitha."
Tanpa diduga Naqeesya menggelegarkan tawa nyaring. "Atuh nggak cocok Bunda dipanggil 'ibu'. Sya jadi berasa anaknya pejabat ih, panggil Bunda aja atuh, Teh."
KAMU SEDANG MEMBACA
HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]
SpiritualSPIN OFF RINTIK SENDU Luka ada karena kita yang dengan sadar menciptakannya, kecewa ada karena kita juga yang dengan sadar memupuknya. Jangan pernah menyalahkan Tuhan dengan dalih 'keadilan' karena kitalah yang terlalu banyak berangan. Seolah mengk...