Jilid Ketigapuluh Tujuh

233 44 11
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Takdir ada bukan untuk dipertanyakan, melainkan untuk dijalani dengan penuh keikhlasan."

"Na jangan kayak gini bisa?" pinta Hamzah seraya mengelus surai sang istri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Na jangan kayak gini bisa?" pinta Hamzah seraya mengelus surai sang istri.

"Makan dulu ya, sakit nanti," bujuknya lagi yang tak direspons sedikit pun.

Sedari kemarin Hamna enggan untuk keluar kamar, bahkan sekadar makan saja harus dipaksa ribuan kali. Dia sudah seperti manusia yang minim akan semangat hidup. Hanya terbaring dengan pandangan kosong, serta mata yang terus mengalirkan cairan bening.

Hamzah mengelus lembut pipi Hamna yang basah oleh air mata. "Kita ini berkontribusi apa sih, Na untuk Harastha? Sangat wajar kalau dia lebih memilih Bu Hamidah dan juga Pak Bima yang sudah merawat dan membesarkannya hingga sekarang."

"Bisa tahu dia masih hidup dan tumbuh jadi gadis shalihah saja sudah sangat alhamdulilah. Janganlah kita menuntut lebih, karena kita ini hanya orang tua yang sekadar mengantarkannya lahir ke dunia. Dia sudah besar, sudah sangat berhak untuk menentukan pilihan. Sudah seharusnya kita pun sadar diri dan sadar akan posisi. Ada di urutan ke berapa kita ini?"

Hamzah terdiam sejenak, dia menatap lekat wajah sang istri. "Kita bisa melihat Harastha dari jauh, sekarang kita  bisa berkomunikasi dengan Pak Bima dan juga Bu Hamidah. Bahkan kita pun tahu, di mana Harastha tinggal. Kita cukup memantaunya, memastikan kalau dia selalu dalam lindungan Allah. Sebaik-baiknya penjagaan ya hanya Allah, Na. Ini adalah takdir yang harus kita jalani, kalau memang Allah memperkenankan jalannya seperti ini. Ya kita bisa apa?"

Hamna masih asik berkawan geming.

Suara ketukan pintu mengambil alih fokus Hamzah. Secara perlahan dia pun bangkit dari posisi duduknya di bawah ranjang yang sang istri tempati.

"Ya, Sya?" tanyanya saat melihat Naqeesya ada di depan pintu kamar.

"Boleh Sya ketemu Buna?" selorohnya.

Hamzah sedikit mundur, memberi akses lebih lebar agar Naqeesya bisa leluasa.

Gadis itu pun memilih duduk di lantai yang sudah dialasi karpet. Dia tumpukan kepalanya di kasur seraya melihat penuh rasa iba pada Hamna.

"Sya sedih lihat Buna kayak gini. Buna harus pikirkan kesehatan Buna juga atuh, jangan kayak gini ya? Yang sayang sama Buna itu banyak," katanya dengan suara pelan.

"Ta-ta-pi Buna dibenci sama putri kandung Buna sendiri, Sya," lirih Hamna terbata-bata.

Naqeesya menggeleng kecil. "Siapa yang bilang begitu? Teh Astha mana berani benci sama ibu kandungnya sendiri. Teh Astha-nya mungkin hanya masih shock, insyaallah nanti kalau kondisinya sudah agak mendingan Teh Astha pasti akan menemui Buna."

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang