Jilid Keduapuluh Tujuh

143 22 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Pada dasarnya sesuatu yang berlebihan itu memang tidak baik, semuanya harus sesuai dengan porsi dan takaran."

"Sya tahu kalau soal hati nggak bisa dipaksakan, segigih-gigihnya Bang Hamizan memperjuangkan Teh Astha, kalau hatinya Teteh bukan untuk dia, Bang Hamizan nggak bisa apa-apa," ungkap Naqeesya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sya tahu kalau soal hati nggak bisa dipaksakan, segigih-gigihnya Bang Hamizan memperjuangkan Teh Astha, kalau hatinya Teteh bukan untuk dia, Bang Hamizan nggak bisa apa-apa," ungkap Naqeesya.

"Sudah ah bahas yang lain aja, gimana tugas akhir kamu, Sya?" sahut Harastha sebisa mungkin mengalihkan pembicaraan.

"Pengalihannya jangan ke tugas akhir atuh, Teh. Mumet kepala, Sya," omelnya.

Harastha terkekeh kecil, dia rangkul pundak Naqeesya. "Ya udah jadinya mau bahas apa, hm?"

"Ngobrolnya mending sambil ngopi-ngopi cantik, tuh ada cafe baru. Kita ke sana yuk."

"Nggak jadi ke Selasar Sunaryo Art Space?"

Naqeesya menggeleng kecil. "Lain kali aja deh, kasihan Teh Astha pasti butuh tempat tenang buat menetralkan pikiran."

Harastha hanya mengangguk patuh. Keduanya pun jalan berdampingan menuju cafe yang letaknya tidak jauh dari masjid tempat mereka singgah.

"Sya boleh tanya sesuatu nggak sama Teh Astha?" katanya setelah mereka sampai dan memilih duduk di area outdoor, dengan pemandangan lalu lalang jalan.

"Boleh."

"Teh Astha sama Kang Hazman, kan dijodohkan. Belum saling mengenal satu sama lain, tapi dari apa yang tadi Sya lihat chemistry kalian tuh kuat banget. Kenapa nggak coba untuk Teteh yang memperjuangkan? Sudah zamannya juga, kan emansipasi wanita."

Harastha terkekeh kecil. "Berjuang itu jika keduanya sama-sama menginginkan. Nggak bisa hanya salah satunya, saya sangat amat menghargai keputusan Ustaz Hazman. Ini yang terbaik, Naqeesya."

"Rasanya nggak adil, memilih mundur di tengah peperangan, padahal sudah sangat jelas kemenangan ada di tangan Kang Hazman. Seharusnya Kang Hazman terus terang sama Bang Hamizan, bersaing secara sehat, kan bisa?"

Harastha menggeleng keras. "Mereka itu saudara, satu darah, nggak ada yang namanya persaingan. Keputusan Ustaz Hazman sudah sangat tepat, saya pun nggak mau merusak hubungan kakak beradik di antara mereka. Memangnya saya ini siapa Sya?"

Naqeesya mendengus kasar. "Ish, jelas-jelas mata Teteh sudah menjawab semuanya. Teh Astha juga menaruh ketertarikan, kan sama Kang Hazman. Jujur aja sama, Sya."

"Hanya sebatas mengagumi karakter dan perangainya, tidak lebih tidak kurang. Cinta sebelum halal itu ujian, dan saya nggak mau mencicipi ujian yang jelas-jelas hukumnya haram."

"Ujian itu dihadapi, bukan malah dihindari. Gimana sih, sama-sama suka tapi saling tahan harga. Gengsinya sama-sama gede ternyata," keluh Naqeesya dengan wajah cemberut serta tangan yang dilipat di depan dada.

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang