Jilid Keduapuluh Enam

103 32 8
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Mau sekarang ataupun nanti, sakitnya akan tetap sama. Terlebih luka yang tertoreh bersumber dari seseorang yang diyakini tidak akan menghadirkan duka."

"Sedikit lancang karena tiba-tiba saya mengajak Ustazah untuk bertemu, tapi ada hal penting yang harus saya bicarakan," ungkap Hazman saat Harastha baru saja duduk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sedikit lancang karena tiba-tiba saya mengajak Ustazah untuk bertemu, tapi ada hal penting yang harus saya bicarakan," ungkap Hazman saat Harastha baru saja duduk.

Mereka melakukan pertemuan di sebuah restoran, di mana tempat itu ramai oleh sejumlah orang. Sebisa mungkin Hazman menghindari khalwat, yakni berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahram.

Harastha mengangguk maklum. "Ada apa memangnya Ustaz?"

Hazman meneguk ludahnya susah payah, dia tarik napas panjang lalu mengembuskannya secara perlahan. "Terkait perjodohan, sepertinya saya tidak bisa melanjutkannya."

"Boleh saya tahu alasannya?"

"Sebelumnya saya meminta maaf yang sebesar-besarnya karena terkesan mempermainkan sesuatu yang sakral. Umi dan Abah pernah mengatakan pada saya untuk tidak terlalu lama mengulur waktu menuju ke jenjang pernikahan, khawatir akan menimbulkan fitnah. Pada saat itu saya menyanggupi, dan mengusahakan secepat yang saya mampu. Akan tetapi, saat ini saya tidak mampu untuk bertanggung jawab atas ucapan saya sendiri."

"Saya gagal meyakinkan kedua orang tua saya, seperti yang Ustazah tahu bahwa saya ini merupakan putra kedua dari tiga bersaudara, dan kakak saya belum menikah. Orang tua saya keberatan jika saya melangkahi kakak saya, sedangkan saat ini kondisi kakak saya tidak memungkinkan untuk melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat."

Hazman tersenyum tipis dan sekilas melihat ke arah Harastha yang terlihat tidak bergeming sedikitpun. "Ustazah tidak perlu khawatir, saya akan tetap membantu Ustazah untuk menemukan orang tua kandung Ustazah. Dan saya pun yang akan berbicara langsung terkait masalah ini pada Umi dan Abah."

Anggukan kecil Harastha berikan. "Apa sudah tersampaikan semua, Ustaz? Jika memang iya, saya akan kembali pulang."

Hazman termenung, dia tidak menyangka bahwa reaksi Harastha akan setenang ini, bahkan perempuan di depannya terlihat sama sekali tak keberatan.

Mendapati keterdiaman Hazman, perempuan bercadar itu pun akhirnya kembali berujar, "Saya bisa memaklumi keputusan Ustaz Hazman, dan saya pun menerimanya dengan hati sangat lapang. Sebagaimana yang beberapa hari lalu pernah Ustaz Hazman katakan bahwasanya bagi Ustaz Hazman rida dan restu orang tua adalah hal yang paling utama, dan sekarang Ustaz menemui saya dengan tanpa rida dan juga restu orang tua."

"Maaf ...," katanya syarat akan rasa bersalah.

Harastha tersenyum di balik cadarnya, terlihat mata bulat itu sedikit menyipit. "Tidak perlu ada permohonan maaf, karena tidak semua perjodohan harus berakhir di pelaminan. Meskipun tidak ada pernikahan, tapi silaturahmi ini jangan sampai terputus ya Ustaz? Kita mengawalinya dengan baik-baik, dan mengakhirinya pun dengan cara yang baik-baik pula. Saya akan bantu untuk bicara dengan Umi dan Abah, karena ini merupakan tanggung jawab saya juga."

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang