Jilid Keempatbelas

215 36 17
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Memandang hidup orang lain lebih bahagia dari kita adalah penyakit paling berbahaya."

Harastha termenung menatap punggung yang kian menjauh dari pandangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Harastha termenung menatap punggung yang kian menjauh dari pandangan. Ada rasa aneh yang menelisik relung hati, hingga berhasil mengobrak-abrik pikirannya agar terus berpusat pada hal itu secara terus-menerus.

Dia menggelengkan kepalanya berulang kali, berusaha untuk mengubur segala ingatan yang baru saja terjadi. Bahkan, dia pun sampai melangitkan istighfar tanpa henti.

"Cukup, Astha! Cukup! Jangan hiasi kepala kamu dengan memikirkan seseorang yang jelas-jelas tidak halal untuk dipikirkan," monolognya berulang kali, seakan tengah membacakan sebuah mantra.

Mendengar kumandang azan magrib yang mulai bersahutan, dia pun bergegas untuk mempercepat langkah. Dia alihkan tungkai ke arah masjid yang letaknya saling berseberangan dengan Rumah Bidadari.

Pikirannya sedang kacau, dia membutuhkan tempat tenang sebagai bentuk pengalihan. Kakinya bergerak cepat menuju tempat wudu, dia membasuh wajah yang terasa panas beberapa kali, sebelum akhirnya memutuskan untuk bersuci.

Harastha memilih untuk mengambil barisan paling depan, bersama dengan beberapa orang yang sudah bersiap untuk menunaikan salat magrib berjamaah.

Alunan suara merdu sang imam membuatnya terhanyut hingga membawa kekhusyukan yang akhir-akhir ini cukup sulit dia dapatkan. Sampai tak terasa ucapan salam digaungkan, tanda salat telah usai.

Tanpa mengubah posisi, Harastha pun langsung berdzikir dan berdoa. Hanya dengan cara ini dia bisa merasa dekat dengan Sang Pencipta. Hatinya yang gundah, mendadak tenang seketika.

Setelahnya barulah Harastha bangkit, dia harus segera pulang. Meskipun jarak antara masjid dan indekost dekat, tapi dia cukup khawatir jika pulang sudah memasuki waktu malam. Mau bagaimanapun, dirinya saat ini tinggal di luar dari lingkungan pesantren, dan sebagai perempuan dia haruslah pandai dalam menjaga diri.

Dia dibuat tertegun saat sudah berdiri di depan pagar Rumah Bidadari, ada Hazami yang tengah memamerkan wajah sumringah seraya menenteng sesuatu di salah satu tangannya.

"Teh Astha ke mana aja? Azam tungguin juga dari tadi. Bu Aminah nggak mau bukain gerbang, alhasil Azam mangkal lama di sini," katanya.

"Ada apa, Zam?" sahutnya singkat.

Hazami menyerahkan rantang plastik susun tiga pada Harastha. "Buna masak banyak, Azam minta pisahkan buat makan Teh Astha."

"Nggak usah repot-repot, Zam," tolaknya lembut.

"Azam nggak repot, anggap aja tanda damai dari Azam yang suka bikin rusuh Teh Astha. Mau, kan?"

"Kamu baik-baik saja, kan? Nggak sedang sakit?"

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang