بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Rencana dan kuasa Allah terlalu sulit untuk dicerna akal manusia yang penuh akan keterbatasan."
Hamizan hendak berdiri saat melihat Dipta duduk tepat di depannya, bahkan dengan sekali lirik pun dia tahu jika perempuan yang kini ada di sampingnya bukanlah Harastha, melainkan Naqeesya.
Hamna meminta sang putra untuk tetap berada di posisinya. Sedangkan dia dan Zanitha berdiri saling menggenggam kuat. Dia tahu, keputusan sepihaknya akan melukai sang putra, tapi dia tidak bisa berbuat banyak di tengah kondisi terjepit seperti sekarang.
Membiarkan Harastha masuk ke dalam keluarganya adalah bencana, dia tidak ingin keutuhan rumah tangganya rusak begitu saja. Walaupun dia harus melibatkan Naqeesya karena memang hanya gadis itu yang dia yakini bisa membantunya.
Hamizan tidak menyambut uluran tangan Dipta, dia justru menatap penuh tanya pada sang ibu. Sedangkan Naqeesya hanya mampu menunduk sedalam mungkin, bukan pernikahan seperti ini yang dia impikan.
Terlebih, menikah dengan seorang Hamizan Rasyid Wiratama merupakan mimpi paling buruk.
Dipta menarik tangan Hamizan, lalu dia pun mengucapkan ijab dengan nada cukup bergetar, "Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Ananda Hamizan Rasyid Wiratama bin Hamzah Wiratama dengan putri kandung saya Naqeesya Dilara Hirawan dengan maskawinnya berupa uang sebesar Rp. 2.000.000,00 dibayar tunai."
Hamizan memilih untuk diam, dia tidak akan mengeluarkan sepatah kata pun. Pernikahan macam apa yang dilangsungkan atas dasar keterpaksaan, bahkan jika Harastha yang berada di sampingnya pun dia tidak akan melanjutkan ijab kabul.
Pernikahan harus dilaksanakan karena memang sama-sama mau dan sama-sama rida. Ibadah paling sakral, yang tidak patut untuk dipermainkan. Dia tidak takut jika memang harus dihukum cambuk, daripada harus menikahi perempuan yang jelas-jelas tidak menginginkannya.
"Bang ..., Sya ma-u pu-lang ..., Sya nggak kuat menerima tatapan rendah dari orang-orang. Sya mohon percepat akadnya, setelah itu Abang bisa talak Sya sesampainya di rumah," bisik Naqeesya dengan mata yang sudah berair.
Hamizan menoleh ke arah Naqeesya penuh rasa iba. Perempuan yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, harus ikut terlibat dalam masalahnya.
Di bawah meja, tangan kirinya mengepal kuat, bahkan berulang kali dia pun menarik napas panjang. Sungguh, tidak pernah terbayangkan sedikitpun akan berada di posisi seperti saat ini.
Dipta mengulang kembali kalimat ijabnya, dengan perasaan campur aduk. Melihat mata merah sang putri, yang menyiratkan keengganan membuat dia tak kuasa untuk menahan sakit.
Jika dirinya bisa bersikap egois, detik ini juga dia akan membawa serta putrinya. Namun, dia masih memiliki hati nurani pada keluarga Hamzah yang tengah dihimpit masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]
SpiritualSPIN OFF RINTIK SENDU Luka ada karena kita yang dengan sadar menciptakannya, kecewa ada karena kita juga yang dengan sadar memupuknya. Jangan pernah menyalahkan Tuhan dengan dalih 'keadilan' karena kitalah yang terlalu banyak berangan. Seolah mengk...