بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Perempuan yang paham akan kehormatan diri, dia kerap kali merasa tidak nyaman kala dipandang oleh laki-laki."
Selasar Sunaryo Art Space, siapa yang tidak mengetahuinya? Sebuah galeri seni yang terletak di bagian utara kota Bandung yang dibangun oleh Sunaryo, seniman kontemporer Indonesia.
Sebuah ruang dan organisasi nirlaba yang banyak dikunjungi wisatawan, terkhusus muda-mudi pecinta seni. Pameran kontemporer dan seni rupa, serta pertunjukan musik dan tari, di ruang berlanskap menjadi sajian paling apik.
"Sya cukup sering ke sini, biasanya sendiri sekarang ada Teteh yang menemani," ujarnya seraya tersenyum lebar.
"Cukup sering Sya bilang? Memangnya se-spesial apa tempat ini untuk, Sya?" sahut Harastha antusias.
Naqeesya tak langsung menjawab, dia terdiam beberapa saat dengan pandangan lurus ke depan melihat karya seni yang berjajar rapi di depannya.
"Sya menyukai tempat-tempat seperti ini, tempat yang menyimpan banyak kenangan. Gajah saja kalau mati meninggalkan belalai, lantas apa kabar dengan kita manusia? Masa iya nggak meninggalkan jejak apa-apa. Selasar Sunaryo Art Space, mengajarkan Sya bahwa sekalipun raga sudah tiada, tapi karya-karya yang pernah diciptakan semasa hidup akan tetap abadi hingga bisa dinikmati oleh banyak pasang mata."
"Selayaknya Rumah Sang Pemimpi milik Bunda, sebuah galeri yang memuat berbagai hal yang berhubungan dengan seni dan fotografi, bahkan buku-buku karyanya pun terpajang apik menghiasai. Bunda punya jejak yang ditinggalkan, yang sekiranya bisa dinikmati oleh orang-orang. Walaupun Rumah Sang Pemimpi tidak seterkenal Selasar Sunaryo Art Space ya, Teh," ungkapnya diakhiri kekehan ringan.
"Teteh boleh tanya sesuatu sama Sya?" tanyanya sedikit ragu.
"Boleh atuh, Teh, sok aja silakan."
"Rumah Sang Pemimpi dibangun mandiri oleh Tante Zanitha?"
Naqeesya menggeleng tegas. "Bukan, setahu Sya Rumah Sang Pemimpi dibangun oleh Papa Hamzah. Kenapa bisa sekarang dikelola oleh Bunda? Ya, karena dulu Papa Hamzah sempat studi di Jerman, dihibahkanlah tempat itu ke Bunda, eh keterusan sampai sekarang."
Kening Harastha mengernyit heran. "Beliau itu siapanya, Sya? Kok dipanggil Papa?"
Naqeesya tertawa kecil. "Kerabat baiknya Bunda sama Ayah, tapi emang udah Sya anggap seperti orang tua sendiri."
"Nanti deh Sya kenalin, sekalian meet up sama Kang Hazman ya," imbuhnya dengan alis yang dinaik-turunkan.
"Itu siapa lagi, Sya?"
Naqeesya merasa gemas sendiri dengan respons Harastha. "Ikhwan paling shalih yang pernah Saya kenal."
Harastha menjawil hidung Naqeesya. "Ish, kamu ini ya, Sya malah bercanda."
KAMU SEDANG MEMBACA
HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]
SpiritualitéSPIN OFF RINTIK SENDU Luka ada karena kita yang dengan sadar menciptakannya, kecewa ada karena kita juga yang dengan sadar memupuknya. Jangan pernah menyalahkan Tuhan dengan dalih 'keadilan' karena kitalah yang terlalu banyak berangan. Seolah mengk...