Jilid Kedelapan

162 36 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jadilah laki-laki yang tidak menganut paham patriarki, karena itulah definisi dari suami sejati."

"Boleh saya tahu nama Anda?" ulang Hamzah saat tak kunjung mendapat jawaban

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Boleh saya tahu nama Anda?" ulang Hamzah saat tak kunjung mendapat jawaban.

"Harastha," sahutnya dengan nada rendah.

Hamzah pun mengangguk kecil. "Maaf atas kelancangan saya yang tidak mampu menjaga pandangan. Saya tidak bermaksud buruk, hanya sebatas teringat dengan mendiang putri saya. Hanya itu, tidak lebih."

Harastha menanggapi dengan anggukan singkat, serta senyum tipis di balik cadarnya.

"Formal banget sih bahasanya, santai aja atuh, Pa, Teh," protes Naqeesya.

Hamzah terkekeh kecil. "Itu namanya tatakrama dalam bertutur kata, apalagi Papa baru mengenal Harastha. Bukan begitu?"

"Iya deh iya, terserah Papa aja. Kalau Sya ajak Teh Astha ketemu Buna boleh, kan? Sya mau kenalin Teh Astha sama Kang Hazman," ungkapnya blak-blakan.

"Ya boleh atuh, Buna seneng pasti, ada temennya. Kasihan Buna terlalu banyak bergaul sama kaum laki-laki."

"Tambah satu lagi bisa kali, siapa tahu yang keempat dapat perempuan, kan?" godanya dengan alis dinaik-turunkan.

"Sya lupa nih. Papa juga, kan punya anak perempuan."

Naqeesya terkekeh kecil. "Sya, kan maksud Papa?"

Hamzah hanya merespons dengan anggukan. "Ehh, tadi Sya bilang apa? Mau ketemu Kang Hazman? Nggak ada atuh, Sya, lagi di pesantren. Pulangnya hanya sesekali pas ada jadwal libur. Adanya paling Bang Hamizan."

Naqeesya menepuk jidatnya. "Sya lupa ih Kang Hazman, kan ngajar di pesantren. Ya udah deh sekarang kenalan sama Bang Hamizan dulu aja ya, Teh?"

"Hah? Gimana?" sahut Harastha terkejut.

"Nggak, bukan apa-apa," kilah Naqeesya.

"Yuk, Pa pulang sekarang, kebetulan juga tadi Sya naik angkutan umum. Nebeng bisa, kan?" sambungnya begitu semangat.

"Bantu Papa cari Azam dulu, Buna bisa ngamuk kalau Papa pulang tanpa bawa putranya."

"Ish, ish, pasukan suami takut istri ternyata ya Papa ini!"

Hamzah menggeleng pelan. "Bukan takut, tapi Papa sangat menghormati dan menghargai Buna. Sayyidina Umar yang terkenal paling ditakuti dan disegani oleh seluruh penduduk bumi, termasuk setan pun tunduk patuh pada istrinya. Beliau memilih diam kala dimarahi, itu bukan karena beliau takut, tapi tanda jika beliau laki-laki sejati yang mampu memuliakan pasangan. Seorang amirul mukminin sampai seperti itu, apalagi Papa yang bukan siapa-siapa ini?"

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang