Jilid Keduapuluh Empat

155 32 8
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Tidak semua hal berjalan sesuai dengan keinginan, terkadang kita harus berdamai dengan yang namanya ketetapan."

"Neng Astha pamit sama Ibu buat pulang sebentar lho, kenapa sekarang malah tiba-tiba mau pindah?" cecar Aminah kala Harastha berpamitan setelah mengemas semua barang-barangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Neng Astha pamit sama Ibu buat pulang sebentar lho, kenapa sekarang malah tiba-tiba mau pindah?" cecar Aminah kala Harastha berpamitan setelah mengemas semua barang-barangnya.

Harastha terkekeh kecil. "Astha juga sebetulnya masih betah tinggal di sini, tapi Umi meminta Astha untuk menempati rumah yang sudah beliau persiapkan."

"Pasti gara-gara Nak Hamizan ya?" tebaknya.

"Bukan, Bu, mutlak karena permintaan Umi."

Aminah pun mengangguk pelan. "Main-main ke sini ya, jangan lupa sama Ibu. Kehilangan temen sharing ilmu ini, nggak ada lagi yang koreksi bacaan al-qur'an Ibu kalau Neng Astha pergi."

"Masyaallah, Astha doakan semoga Ibu lebih istiqomah lagi, bacaan dan hafalan qur'an-nya semakin bertambah, nanti Astha kabari kalau ada jadwal kajian. Kita kajian bareng sama orang yang memang benar-benar paham agama, bukan kayak Astha yang masih fakir dan harus banyak belajar," sahutnya.

"Siap, Neng Astha," ujar Aminah bersemangat.

"Oh, ya sampai lupa. Selama Neng Astha pergi, Nak Hamizan selalu nongkrongin Rumah Bidadari, Ibu sampai bosen lihat mukanya tiap hari, mana tiga kali dalam sehari lagi. Udah kayak minum obat," keluhnya kemudian.

"Ibu serius?"

"Duarius, Neng yang paling parah sih kemarin. Dia nggak mau pergi padahal udah Ibu usir ribuan kali, untung Hazami datang dan bawa pulang abangnya. Kalau nggak, bisa nginep kali tuh anak di sini."

Harastha meringis kecil. "Kok serem ya, Bu? Kesannya Hamizan seperti terobsesi sama Astha. Padahal kenal juga nggak terlalu, apa juga bagusnya Astha sampai dikejar-kejar sebegitunya?"

Aminah geleng-geleng kepala. "Neng Astha mah udah bukan di tahap bagus lagi, tapi excellent. Nggak ada duanya, limited edition, wajar kalau Nak Hamizan sampai melakukan berbagai cara untuk meluluhkan hati Neng Astha."

"Apa sih, Ibu ini berlebihan banget. Udah ah Astha mau pamit, sebelum ada Hamizan. Repot kalau sampai ketangkap basah dia, Ibu jangan bilang-bilang kalau Astha udah balik dari pesantren dan pindah dari sini ya?"

"Harus bohong dong, Ibu. Dosanya Neng Astha yang tanggung ya?"

Mendengar hal tersebut Harastha pun menggeleng cepat. "Dosa Astha sudah terlalu banyak, jangan ditambah lagi atuh, Bu. Kalau dia tanya ya Ibu jawab seperlunya aja ya? Astha juga nggak mau kasih tahu Ibu di mana tempat tinggal Astha yang baru, bukan maksud apa-apa tapi supaya kita sama-sama aman. Ibu aman nggak harus bohong ke Hamizan, dan Astha aman nggak digangguin dia lagi."

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang