Jilid Ketujuhbelas

158 27 17
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Berprinsip tinggi adalah ciri dari lelaki sejati."

Perempuan sesantai dan setenang Harastha harus dihadapkan dengan pria agresif yang begitu ugal-ugalan mendekatinya, hanya karena modal 'tertarik'

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perempuan sesantai dan setenang Harastha harus dihadapkan dengan pria agresif yang begitu ugal-ugalan mendekatinya, hanya karena modal 'tertarik'. Sungguh sangat jengah, terlebih dia pun tidak nyaman dengan pandangan orang-orang sekitar.

"Jangan mendekati saya lagi, bisa?!" sarkasnya telak.

Hamizan menggeleng santai. "Tidak."

Helaan napas berat lolos begitu saja. "Semula hidup saya tenang-tenang saja, tapi semenjak bertemu dengan Anda, ketenangan itu seketika sirna. Dimohon kerjasamanya, saya tidak tertarik ataupun menaruh minat untuk memiliki hubungan lebih dengan Anda!"

Bagaimana dia tidak merasa risi, dalam sehari ada tiga kali Go-Jek yang datang ke indekost hanya untuk sekadar mengantar makanan. Bukan hanya sebatas itu saja, Hamizan pun tanpa tahu malu datang langsung ke indekost dengan modus mengunjungi Aminah, padahal lelaki itu tengah menggali informasi lebih lanjut perihalnya.

Tidak cukup di sana saja, lelaki itu pun tak segan untuk merecokinya di tempat kerja. Selalu ada saja alasannya mengapa datang ke Rumah Sang Pemimpi. Sungguh jengkel sekali rasanya, belakangan ini Hamizan selalu wara-wiri untuk merusak hari-hari tenangnya.

"Seleranya pria-pria matang, kah?"

"Setengah matang pun saya suka asalkan bukan Anda!"

Hamizan justru tersenyum tipis menanggapi perkataan ketus tersebut. "Setengah matang ya? Digoreng, dikukus, atau direbus kalau boleh tahu?"

Kesal. Harastha pun refleks menghentakkan kaki, dia menunjuk ke arah pintu keluar. "Anda bisa pulang sekarang."

"Lupa ya? Bunda Zani telah menitipkan kamu dan juga Rumah Sang Pemimpi pada saya. Masa masih muda sudah terjangkit virus pikun," sahutnya dengan santai memilih untuk duduk di kursi yang memang disediakan bagi para costumer yang hendak melakukan sesi pemotretan.

"Saya rasa Anda bukan pengangguran yang bisa leluasa ongkang-ongkang kaki di tempat yang tidak seharusnya!"

"Tentu saja saya bukan pengangguran, tapi pekerjaan saya tidak mengharuskan saya untuk stay di tempat. Tahu kerja remote? Nah itulah pekerjaan saya."

"Sombong sekali Anda!"

Hamizan terkekeh kecil. "Padahal saya hanya menjawab pertanyaan kamu, kenapa malah men-judge saya sombong. Apa ada yang salah?"

Harastha tak menjawab, dia memilih untuk beristighfar lebih banyak. Jika tidak ingat, pria yang di depannya saat ini merupakan keponakan dari sang atasan, sudah dia usir sejak tadi juga.

Kehadirannya tak membantu, justru hanya jadi benalu. Benar-benar muak!

"Jangan terlalu benci, benar-benar cinta sama saya malu nanti," cetusnya penuh akan rasa percaya diri.

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang