بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Menjadi orang tua memang tidak ada sekolahnya, tapi acap kali dituntut untuk senantiasa belajar."
Hamna membelai puncak kepala putra bungsunya. "Kalau memang Azam keberatan untuk tinggal di pesantren, kenapa nggak bilang dari awal? Papa sama Buna nggak akan memaksa kalau memang Azam berterus terang. Nggak harus pakai drama kabur dan merusak fasilitas pesantren, kan bisa."
Hazami memilih untuk diam, menyangkal ataupun membela diri rasanya tidak akan selamat karena kini dia tengah disidang oleh orang tua serta dua kakaknya.
"Sekarang Buna tanya, Azam maunya gimana? Jangan diulang ah kenakalan remaja seperti kemarin. Itu keliru, Dek."
Hazami merengut seketika. "Jangan panggil Azam dengan sebutan 'Dek' atuh, Buna. Azam sudah dewasa, 18 tahun."
"Dewasa? Mana ada orang dengan label dewasa melakukan tindakan yang tidak bermoral. Dikira bagus apa kabur dari pesantren?!" ujar Hamizan telak. Si sulung yang memang terkenal bermulut pedas.
"Bang Hamizan tuh irit ngomong, tapi sekalinya ngomong nyakitin hati. Kurang-kurangin, lha, Bang," sahut Hazami sebal.
"Sudah, Bang, jangan terlalu menyudutkan Azam. Dia masih remaja, sedang dalam fase nakal-nakalnya," ujar Hazman, si anak tengah yang sangat netral.
Merasa ada yang membela, Hazami pun berkata, "Dengerin tuh, Bang apa kata Kang Hazman."
"Kenapa kalian malah ribut. Sudah selesai?" ungkap Hamzah akhirnya angkat suara.
"Bang Hamizan tuh yang mulai duluan!" seru Hazami tak mau disalahkan.
Hamzah menghela napas singkat. "Di sini yang jadi terdakwa Azam, kenapa malah mengkambinghitamkan Bang Hamizan? Sekarang Papa tanya sama Azam, kenapa bisa bertindak gegabah seperti kemarin?"
"Azam nggak betah!" jawabnya begitu singkat.
"Azam tinggal di sana belum genap satu minggu lho, kenapa bisa bilang nggak betah? Tinggal lebih lama dulu, kan bisa," tutur Hamna.
"Nggak bisa, Buna!"
"Rendahkan suara kamu di depan Buna," tegur Hamizan tak suka dengan apa yang dilakukan adiknya.
Hamna tersenyum tipis, dia elus lembut tangan bagian atas Hamizan lalu berkata, "Buna nggak papa, Bang. Mungkin itu hanya bentuk spontanitas Azam, ditegur baik-baik ya adiknya?"
Hamizan hanya mengangguk kecil.
Hazami menunduk seketika. "Maaf, Azam nggak maksud buat bentak Buna."
Hamna manggut-manggut paham. "Sekarang Buna tanya ulang sama Azam, mau Azam apa? Buna nggak mau lho kejadian kemarin terulang sampai berjilid-jilid. Cukup sekali aja, bisa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]
SpiritualSPIN OFF RINTIK SENDU Luka ada karena kita yang dengan sadar menciptakannya, kecewa ada karena kita juga yang dengan sadar memupuknya. Jangan pernah menyalahkan Tuhan dengan dalih 'keadilan' karena kitalah yang terlalu banyak berangan. Seolah mengk...