Jilid Ketigapuluh

118 31 38
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Memutuskan sesuatu di tengah amarah yang tidak stabil, hanya akan mendatangkan rasa sesal."

"Saya tidak mau menikah dengan Hamizan, Sya," lirih Harastha di dalam pelukan Naqeesya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Saya tidak mau menikah dengan Hamizan, Sya," lirih Harastha di dalam pelukan Naqeesya.

Dengan lembut Naqeesya mengelus punggung Harastha. "Nggak akan ada pernikahan, Teteh jangan khawatir ya."

Harastha menggeleng lemah. "Bagaimana mungkin kamu bilang nggak ada pernikahan, sedangkan di luar sudah ada banyak orang."

Naqeesya mengurai pelukannya, dia tersenyum tipis lantas berujar, "Bang Hamizan memang mencintai Teh Astha, tapi dia pun nggak mau menikahi Teh Astha dengan cara seperti ini. Percaya sama Sya, nggak akan pernah ada pernikahan."

Harastha meraup kasar permukaan wajahnya yang masih tertutup cadar. Dia sudah benar-benar putus asa dengan semua yang terjadi saat ini. Selepas kejadian tadi, mereka dibawa ke balai desa untuk diadili.

Dia tidak berani untuk menghubungi umi dan abahnya, alhasil dia hanya bisa menghubungi Naqeesya. Walaupun gadis itu tidak bisa membantu banyak, tapi setidaknya bisa menemani dia untuk menghadapi semua ini.

Hamizan dengan didampingi kedua orang tuanya masih dicecar banyak pertanyaan, didesak untuk mengakui hal yang jelas-jelas tidak pernah dia lakukan. Sedangkan Harastha dan Naqeesya berada di sebuah ruangan, diamankan agar tidak kabur.

"Sya obati lukanya dulu ya, Teh," ujar Naqeesya karena memang tadi sempat diberi kotak P3K oleh seorang warga.

Harastha hanya mengangguk patuh.

"Lingkungan ini sangat menentang keras perzinaan, siapa pun yang tertangkap basah maka akan mereka nikahkan saat itu juga. Memang hanya secara agama, tapi mereka pun akan mengurus legalitasnya supaya sah di mata negara," ungkap Naqeesya seraya mengobati luka Harastha.

"Bagi para pezina berlaku hukum cambuk 1000 kali (bagi yang belum menikah), bukan dengan cara menikahkan mereka. Itu sudah keliru, terlebih saya dan Hamizan jelas-jelas tidak terlibat perzinaan. Ini hanya kesalahpahaman, Sya."

Naqeesya mengangguk singkat. "Sya tahu itu, tapi kondisinya mereka menangkap basah Teteh sama Bang Hamizan tengah berduaan, di tempat gelap pula. Manusia zaman sekarang terlalu gampang menyimpulkan, terlalu mudah men-judge hanya berdasarkan pada asumsi, padahal bukti yang dikantongi pun nggak cukup kuat. Teh Astha dan Bang Hamizan masih berpakaian lengkap, kan saat itu?"

"Demi Allah, Sya, saya tidak melakukan hal yang tak senonoh sebagaimana tuduhan para warga. Bahkan pakaian saya masih terpasang dengan lengkap, hanya salah satu sepatu saya yang dilepas Hamizan, itu pun untuk melihat keparahan luka saya."

Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian keduanya. Hamna berdiri di sana, lalu mulai menjalankan tungkai untuk menghampiri keduanya.

"Sya mau menolong Buna?" tanyanya seraya bersimpuh di depan Naqeesya, karena posisi gadis itu yang tengah duduk di kursi.

HARASTHA [ Seni Merawat Luka ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang