*24 - Hadi, Juana dan Senja.

374 31 11
                                    

~~~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








~~~





Pemuda itu sekarang menatap dirinya pada cermin besar yang terpajang dikamarnya, dia tersenyum bangga saat melihat kaus putih dengan garis-garis hitam serta jaket sebagai lapisan terakhirnya.

"Mas, hari ini jadwal ke psikiater kan? Jangan lupa ya." peringat Wanita yang kini tengah menyuapi Si bungsu, Alan. Beliau mulai cerewet saat melihat Hadi mulai menuruni anak tangga.

Hadi yang mendengar peringatan tersebut hanya tersenyum kecil, rasa kepedulian serta kasih sayang itu mampu membuat perasaannya menghangat.

"Iya Nda, Mas enggak akan lupa."

Setelah itu Hadi melangkahkan kakinya menuju dapur, melihat Alan yang sedang sarapan membuat perutnya terasa ingin diisi juga.

Matanya berkeliling mencari makanan di dapur, tetapi nihil. Tidak ada sama sekali, hanya ada piring yang sudah di cuci dan rapi kembali di tempatnya.

"Nda, sarapan di dapur mana?!" Hadi berteriak dari dapur, terkesan tidak sopan sih ... tetapi ini sudah menjadi kebiasaan mereka sehari-harinya di rumah.

Walaupun jarak tidak terlalu jauh, tetap saja mereka akan berteriak dengan alasan malas untuk berjalan kesana-kesini.

"Disini Mas, sudah Bunda siapkan!" balas Dara ikut berteriak, Wanita itu masih sibuk mengurus Si bungsu yang tak bisa diam sama sekali.

Setelah mendengar itu, Hadi kembali menghampiri ruang tengah untuk sarapan terlebih dahulu. Semenjak dirinya keluar dari rumah sakit, Dara lebih sering masak makanan yang sehat-sehat untuknya. Katanya sih enggak baik kalau mengonsumsi makanan yang sembarangan terus.




~~~




"Ini rambut demen banget berantakan deh perasaan!" dumel Juana kesal sendiri. Satu tangannya kembali merapikan rambutnya tersebut agar tidak terlihat acak-acak lagi.

Kalau kata Hadi, rambut Juana tuh nggak bisa diam kayak orangnya. Awalnya yang dikatain merasa tidak terima, tetapi semakin lama, pada akhirnya Juana sadar diri, dia memang tidak bisa diam.

Pemuda itu kini sudah berpenampilan rapi, seragam putih abu yang akan dia kenakan lagi sampai beberapa bulan kedepan. Dengan ransel berwarna hitam yang sudah sedikit terbuka dibagian ritsletingnya. Juana tidak berani untuk meminta ransel baru kepada Bunda, karena dia tahu pada akhirnya Wanita itu akan mengatakan bahwa dia tidak mempunyai uang sama sekali dihadapannya.

Rumah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang