Bab 23 [ War Restarts? ]

8 2 4
                                    

Hiruk pikuk memenuhi atmosfer wilayah pasukan kekaisaran erlos yang tengah bersiap untuk memulai strategi baru melawan Howard. Nampak, pasukan kekaisaran mulai berkurang karena sebagian pasukan telah beranjak memenuhi posisi mereka masing-masing. Adapun Callix, ia masih sibuk melukis lingkaran sihir didalam markas. Luke berada disisi Callix untuk tetap memantau keadaan.

Begitu lingkaran sihir yang dibuat Callix telah siap, seluruh pasukan kekaisaran telah menempati posisinya masing-masing sekarang.

Callix ampak bersimbah keringat hanya untuk melukis lingkaran sihir tersebut.
“Luke, sekarang kita bisa mulai peperangan ini..”ucap Callix sembari mengusap keringatnya. “Baik,” balas Luke lantas ia segera pergi. Tugas Luke cukup sederhana, ia akan berpatroli mengitari lingkaran yang melindungi markas mereka, dan ketika musuh tiba, atau terdapat musuh yang lolos dari sergapan, ia akan segera mengabari Callix disana dengan alat sihir yang telah Callix berikan padanya. Mengapa Callix tidak memberikan alat sihir itu juga kepada pasukan yang lain sehingga Luke yang notabenenya salah satu aset perang ini tak perlu membuang waktu?

Jawabannya keterbatasan Sihir.

Bayangkan saja saat ini Callix sudah menggunakan dua Teknik besar. Bahkan, di dua tempat berjauhan. Di Erlos, dan di medan perang ini. Kekuatan sihirnya sekarang tak banyak tersisa, walaupun masih cukup untuk beberapa serangan besar. Jadi, Callix memilih menggunakannya untuk alat sihir saja yang notabenenya menggunakan Sihir lebih sedikit.

Luke terus mengitari seluruh pasukannya dengan seksama. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Tak ada tanda-tanda musuh tiba di seluruh penjuru medan perang.

“Pangeran, tak ada tanda-tanda kedatangan musuh dari barisan manapun. Apa yang harus dilakukan kemudian?” lapor Luke pada Callix lewat alat sihir itu. “Terus pantau, Luke. Aku akan memastikan keadaan di istana”jawab Callix yang masih berada di markas pusat.

Terdengar hembusan nafas dari penyihir berambut putih disana, menyiratkan bahwa ia sudah kelelahan dengan banyaknya konsentrasi yang harus ia jaga. Kemudian, ia kembali menutup matanya, menghubungi orang di sekitar istana.

“Risha!” panggil Callix lewat pikirannya berusaha menghubungkan sihirnya.
Tak ada jawaban. Membuat Callix semakin menautkan kedua alisnya.
“Risha! Jawab!” lagi. Callix Kembali memanggil adiknya disana.

Lagi. Sekali lagi. Ayolah.

“Aku tak merasakan Sihirku disana terganggu, seharusnya aman, kecuali..” gumam Callix sebelum Kembali memanggil Aerisha.

“AERISHA!”

Kak? Ada apa?” tanya Aerisha. Akhirnya tersambung juga. “Kenapa lama sekali? Aku khawatir tahu!” ucap Callix mengomel. Namun, disisi lain dia lega disana aman.

Tadi aku habis dari kuil, jadi tidak merasakan sihir kakak. Bukankah kakak yang menyuruhku pergi ke kuil bersama Kak Lena?” jawab Aerisha menjelaskan situasi.

Oh, iya. Bagaimana Kabar Helena?” tanya Callix.

“Baik, kak. Seperti yang kakak katakan, dia memiliki kekuatan Suci. Alastor sendiri yang memeriksanya..” balas Aerisha antusias.

“Baiklah, aku harus Kembali Risha. Jaga Helena ya?” ucap Callix lantas mengakhiri pembicaraan itu.

“Kakak juga harus jaga diri ya?”gumam Aerisha diseberang sana.

Bayang-bayang kematian Putra Mahkota masih terbayang dibenak Putri kecil itu, mengingat masih ada saudaranya di Medan Perang.

Medan perang masih sepi, tak ada pertanda datangnya serangan. Membuat para pasukan mengkhawatirkan keadaan di Erlos yang bisa kapan saja diserang.

Helena:The Fading LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang