Bagian 30

5 5 4
                                    

30

"Kau Abadi Dalam Karyaku"

Aku sudah benar-benar lulus, dan aku sudah tidak bertukar kabar lagi dengan teman-teman SMA ku kecuali sahabat-sahabat dekat ku. Aku masih belum bisa melupakannya, sesekali jika aku teringat pada nya aku selalu menetaskan air mata. Sampai saat ini masih ingat dengan suasana, baju yang ia pakai, raut wajahnya ketika meliahatku, bahkan aroma parfum yang ia kenakan hari itu, hari pertama dan terkahir kami jalan bersama.

Aku juga masih ingat betapa naifnya ketika aku berpikir bahwa kepergiannya adalah hal yang biasa. Karena di dalam cerita ini, dia yang jahat. Dia menyakitiku begitu pedih hingga ketika ia pamit pun aku banyak menangis, tapi entah kenapa aku tidak terkejut, aku hanya melongo, bingung, kemudian menetaskan air mata. Aku tahu bahwa semua orang memang akan pergi, hanya saja aku tidak menyangka akan setiba-tiba itu.

"Kamu pasti baik-baik aja."

"Kamu pantas dapat yang lebih baik," sambungnya lagi ketika terakhir kali berbicara di telepon.

Ia berubah dari orang yang ceria dan menyenangkan menjadi orang yang konyol dan tidak masuk akal.

Yah, kami memang sempat bersama selama tiga tahun sebagai teman dan sebagai pacar. Tapi apakah itu membuatnya sangat mengenalku hingga bisa beranggapan aku akan baik-baik saja, setelah ia meminta hubungan ini berakhir lalu menyuruhku mencari pengganti yang lebih baik.

Pada saat itu, aku meringkas semua pertanyaan yang ingin ku tanyakan menjadi, "kenapa?"

"I just don't love you anymore" jawabnya tanpa ragu, dan selama tiga tahun bersama, aku tidak pernah melihatnya seyakin itu. Bukankah itu menyedihkan? Ketika aku harus tahu bahwa hal yang paling ia yakini ternyata adalah berpisah denganku?

Setiap kali mengingat hal itu aku kesulitan bernafas, aku pikir, itu haknya. Haknya untuk datang, juga pergi begitu saja. Haknya untuk mampir dan melanjutkan hidupnya meski bukan denganku.

Tidak. Aku pasrah dan menyerah bukan karena aku tidak bisa memberi pembelaan, tapi karena aku tahu bahwa memang tidak ada yang bisa kulakukan.

Yah, gimana? Keinginannya adalah pergi, dan satu-satunya cara untuk mengabulkannya hanya dengan meninggalkanku.

"Take care, ya," sambungnya lagi saat aku masih diam membisu. "Kamu pasti baik-baik aja nggak ada aku."

Ia mengulang kalimat itu sampai dua kali, dan setahun setelahnya, ketika sekarang aku mengingatnya lagi, aku tahu bahwa aku tidak baik-baik saja.

Tiga tahun memang bukan lima tahun bukan sepuluh tahun, bukan juga tiga puluh tahun. Tiga tahun memang sebentar jika dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya. Tetapi, ingatan manusia bekerja lebih lama dari yang bisa kita pahami.

Jadi ketika orang-orang di sekelilingku bertanya, "Kenapa masih sendiri?"

Kalau boleh memberi jawaban yang sejujurnya, adalah karena aku tidak bisa lagi membayangkan kehidupanku yang berdua, atau mencoba percaya lagi soal cinta.

Di antara ragam kecewa yang ia berikan, aku tetap gagal membencinya. Di antara banyaknya celah untuk memulai dengan orang baru, aku sengaja menutup semua kesempatan itu. Setiap aku berusaha mengenal orang baru, aku merasa telah membohonginya, bahwa yang kulakukan adalah kebohongan dan aku telah mengingkari perasaanku sendiri. Padahal ia sudah pergi, dan aku pun tak berhutang apa-apa. Aku tidak menulis janji yang harus kutepati.

Dia baik-baik saja sekarang. Dia bahagia setelah meninggalkanku. Dia senang dengan hidupnya yang tanpa aku di dalamnya.

Alih-alih merasa sedih, aku justru menyayangkan ia yang telah membuang waktunya bersamaku. Andai bisa kukembalikan, pasti kukembalikan. Tetapi, bila ia bisa melakukan sebaliknya, aku tidak akan menerimanya.

Ya. Bilamana waktu bisa diulang lagi, aku akan tetap memilih untuk jatuh padanya karena ku sungguh menyukai tiga tahun itu. Sebuah cerita pendek dengan sad ending yang menghidupkan kembali perasaan-perasaan yang kukira tidak akan kutemui lagi.

Dan dengannya adalah yang terakhir kali. Sekarang aku hilang rasa. Aku kehabisan rasa. Terhadap apa dan siapa pun. Aku hanya melanjutkan hidup sebisaku.

Yah, ternyata move on bukan soal melupakan ya?

Tetapi berusaha jalan.

Aku berterima kasih untuk semua hal, kepada siapa pun yang telah menghiasi masa SMA ku.

Saat terakhir kali bertemu Keya kami sama-sama meminta maaf atas semua hal yang telah terjadi di antara kami dahulu, kali ini aku sudah tidak ada beban di hati ku, kali ini aku benar-benar melepaskan semua hal tentang dia yang tak akan pernah bisa kembali sama. Satu hal yang harus selalu kau ingat,

Rey Zea Alamsyah, kau abadi dalam karya ku.

Never Be The SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang