Prolog

1.5K 19 0
                                    

Saat mataku terbuka, aku mendapati diriku berada di sebuah ruangan yang serba putih, dingin, dan asing. Cahaya lampu yang terlalu terang membuatku sedikit silau, dan di sekelilingku, aku diselimuti oleh alat-alat medis yang terdengar berdetik pelan, terhubung ke tubuhku. Ada selang infus di lenganku, dan alat monitor jantung berdetak pelan di sampingku. Tubuhku terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahanku untuk bangun

Aku mencoba mengingat apa yang terjadi, namun kepalaku terasa kosong. Tidak ada ingatan jelas, hanya bayangan buram yang menghilang begitu aku mencoba menggapainya. Saat aku masih mencerna situasiku, pintu ruangan terbuka. Mas Kafka, kakak pertamaku, masuk dengan langkah cepat namun hati-hati, seperti tidak ingin mengganggu ketenanganku. Wajahnya terlihat cemas, namun saat dia melihatku terbangun, ada senyum lega di wajahnya

"Kamu akhirnya bangun, Ris," katanya sambil duduk di samping tempat tidurku, menggenggam tanganku dengan lembut

"Apa yang terjadi padaku, Mas?" tanyaku, suaraku serak dan lemah

"Tenang aja, kamu akan baik-baik saja. Dokter bilang kondisimu sudah stabil," jawabnya, suaranya menenangkan, tapi ada sesuatu di matanya yang membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi tubuhku terasa lelah. Aku hanya bisa mempercayai kata-katanya untuk sekarang

Mas Kafka tetap di sana, menggenggam tanganku erat, seolah takut kalau dia melepaskan, aku akan menghilang lagi. Meskipun aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, kehadirannya memberiku rasa aman. Aku akan baik-baik saja, seperti yang dikatakannya

***

Aku ingat hari pertama di sekolah baru, sekolah yang dimiliki oleh yayasan keluargaku. Meski ada rasa nyaman karena latar belakang keluargaku, sebagai murid pindahan, aku tetap merasa canggung. Pagi itu, Mas Kafka mengantarku dengan mobilnya ke sekolah, menepuk bahuku dengan lembut sebelum meninggalkanku

"Semangat ya, Ris. Kamu pasti bisa beradaptasi cepat," katanya dengan senyum menenangkan, seperti biasa

Saat aku melangkah masuk, perhatian para siswa seakan tertuju padaku. Mungkin karena mereka tahu aku adalah murid pindahan, atau mungkin karena aku baru di sekolah ini. Aku merasa asing, meski ruangan-ruangan di sini sebenarnya milik keluargaku

Di tengah hiruk-pikuk siswa yang berjalan menuju kelas, tiba-tiba seorang laki-laki menghampiriku. Wajahnya cerah, seolah-olah sudah lama menungguku. Dia tersenyum lebar, seakan kami teman dekat yang lama tak bertemu

"Hai, Eris! Lama banget ya, akhirnya ketemu lagi," sapanya dengan penuh antusias. Aku terdiam, berusaha keras mengingat siapa dia, tapi ingatanku kosong. Wajahnya asing, namun ada sesuatu dalam caranya bicara yang membuatku merasa sedikit bersalah karena tidak bisa mengenalnya

Terutama saat ia memanggilku "Eris". Panggilan itu hanya orang-orang tertentu saja yang berhak memanggilnya, yaitu orang yang sangat akrab denganku

Melihat kebingunganku, dia terkekeh. "Nggak ingat ya? Gue Bayu. Kita satu SD dulu. Lo sering bareng-bareng sama gue waktu di lapangan, lho."

Aku mengernyit, mencoba mengumpulkan potongan ingatan yang hilang. Bayangan samar-samar tentang seorang anak laki-laki yang suka bermain di lapangan mulai muncul, tapi itu tidak cukup kuat untuk membuat semuanya jelas. Namun, aku hanya bisa tersenyum kikuk, mengangguk seolah ingat

Bayu, rupanya tak peduli kalau aku lupa. "Ngomong-ngomong, di sini ada eskul basket, loh. Lo masih suka main basket kan? Ikut, yuk! Kita bisa main bareng lagi, seperti dulu."

Remember meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang