Sudah hampir sebulan Eriska terbaring koma di ruang intensif, dan rasanya seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Setiap pagi dan malam, aku datang ke rumah sakit, menatapnya di balik pintu kaca yang membatasi kami. Setiap kali, aku berharap bisa melihat matanya terbuka, melihat senyum tipisnya yang menenangkan. Namun, yang kulihat hanyalah tubuhnya yang terbaring diam, ditemani bunyi mesin yang menjaga jantungnya tetap berdetak
Aku sering bertanya-tanya dalam hati, apa yang ada di dalam pikirannya sekarang? Apakah dia bisa mendengarku ketika aku menyapanya, seperti biasa?
"Selamat pagi, Ris," bisikku, meskipun aku tahu dia tidak bisa menjawab. Tapi aku tetap melakukannya—karena hanya itu yang bisa kulakukan
Malam hari terasa semakin panjang. Setelah rapat-rapat yang melelahkan, aku selalu kembali ke sini. Aku duduk di kursi di luar ruangannya, berharap waktu bergerak lebih cepat, berharap ada kabar baik dari dokter yang selalu lewat tanpa perubahan signifikan. Kadang aku memejamkan mata, membayangkan dia sedang duduk di sebelahku, dengan rambut panjangnya yang dulu sering kupuji. Namun, kenyataannya, dia terbaring di sana dengan kepalanya yang kini tak lagi tertutup rambut, kehilangan semangat yang dulu selalu mengisi ruang di sekitarnya
Setiap hari, aku berusaha keras untuk tetap kuat di depannya, meskipun hati ini hancur setiap kali melihatnya tak berdaya
"Ris, kamu harus bangun... aku masih di sini," bisikku pelan di balik kaca. Aku tidak tahu apakah kata-kataku sampai padanya, tapi aku berharap, entah bagaimana, dia bisa merasakan kehadiranku
Aku tidak bisa menyerah—tidak sekarang. Aku harus ada untuknya, seperti janjiku sebelum dia masuk ruang operasi. Tapi, terkadang rasa takut itu datang, menghantui malam-malamku, memikirkan kemungkinan terburuk. Aku mencoba mengusir pikiran itu, mengingatkan diriku bahwa dia lebih kuat dari yang terlihat
Ruang intensif itu kini menjadi tempat yang paling akrab bagiku, tapi juga yang paling sulit. Dan aku hanya bisa menunggu, menunggu keajaiban yang kami semua harapkan
Terkadang, Mas Kafka datang untuk menemaniku di rumah sakit. Dia selalu terlihat tenang, seolah mencoba menyembunyikan kekhawatirannya dengan pembawaan yang tenang dan tegar. Kami berbicara tentang hal-hal yang ringan, tentang pekerjaan, tentang keluarga. Namun, tak satu pun dari kami bisa mengabaikan kenyataan bahwa Eriska, adiknya, dan seseorang yang lebih dari segalanya bagiku, masih terbaring tak sadarkan diri
"Tetap kuat, Ren. Eris pasti bangun," kata Mas Kafka suatu malam sambil menepuk bahuku. Aku hanya mengangguk, tapi dalam hati aku merasa berat. Setiap kali aku mendengar kata-kata penghiburan seperti itu, ada bagian dalam diriku yang ingin percaya, tapi juga ada bagian yang semakin tenggelam dalam kekhawatiran
Namun, sering kali aku sendirian di sini. Menunggu. Duduk di kursi di luar ruang intensif, menggenggam liontin rumah yang pernah kuberikan padanya. Aku tak pernah mengira, akan berada di sini, dalam situasi seperti ini, di titik di mana aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan, tanpa bisa bicara dengannya atau mendengar suaranya
Aku mencintainya lebih dari yang dia tahu. Bukan hanya karena perjodohan atau karena kami tumbuh bersama sejak kecil. Ini lebih dari itu. Ketika dia tertawa, aku merasa dunia ini lebih cerah. Ketika dia memelukku, aku merasa aman, seperti aku adalah rumah baginya. Dia tidak pernah tahu betapa aku menghargai setiap momen yang kami habiskan bersama, bahkan saat-saat kecil ketika dia hanya menggambar di sebelahku, atau saat kami berjalan-jalan tanpa kata-kata
Malam-malam di rumah sakit ini telah memberiku banyak waktu untuk merenung, untuk benar-benar memahami perasaanku padanya. Dan kini, saat dia berada di antara kehidupan dan kematian, aku menyadari bahwa cintaku padanya jauh lebih dalam dari apa pun yang pernah kupikirkan. Tapi aku tak pernah bisa mengatakannya padanya dengan benar. Sekarang, yang bisa kulakukan hanya menunggu, berharap, dan berdoa dia kembali ke sisiku. Agar aku bisa memberitahunya seberapa besar dia berarti bagiku
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomansaSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya