Sudah beberapa hari ini Eriska lebih pendiam dari biasanya. Setelah latihan basket, dia langsung pulang ke rumah. Padahal saat tim putri memenangkan pertandingan, dia tetap seperti Eriska yang biasa. Dingin, tetapi ramah dan ikut pembicaraan teman-teman kami. Sepertinya ada masalah keluarga yang serius setelah dia dijemput oleh Keenan waktu itu
Aku menatap Eriska yang sedang tidur di meja, wajahnya terlihat tenang dan damai. Sinar matahari yang masuk melalui jendela tampak menyinarinya dengan lembut, menciptakan aura yang menawan. Melihatnya dalam keadaan seperti itu membuatku teringat betapa aku sudah mengaguminya sejak lama
Namun, di dalam hatiku, ada rasa sakit yang tidak bisa dihindari. Aku tahu betul bahwa hubungan kami tidak mungkin lebih dari sekadar teman. Perbedaan status sosial kami menjadi penghalang yang besar. Eriska datang dari keluarga yang mapan, sementara aku hanya seorang anak yatim piatu. Meskipun kami sudah menjalin persahabatan yang akrab, rasa itu seolah tetap terjaga di antara kami
Aku merasa frustrasi dengan perasaanku sendiri. Mengapa aku harus terjebak dalam ketidakpastian ini? Aku ingin mendukungnya dan berada di sisinya, tetapi ada rasa takut yang menghantuiku. Bagaimana jika perasaanku ini mengubah segalanya? Bagaimana jika aku mengacaukan persahabatan kami?
Eriska terbangun dengan perlahan, mengedipkan matanya untuk menyesuaikan diri dengan sinar matahari yang masuk. Ketika dia melihatku, senyumnya muncul, meski masih ada sisa-sisa kelelahan di wajahnya
"Oh, Bayu," katanya, suaranya serak karena baru bangun. "Kapan gue ketiduran?"
"Gak lama, sih. Lo kelihatan capek, jadi gue biarin aja," jawabku, mencoba menampilkan senyum yang menenangkan
Eriska menggaruk kepalanya, tampak sedikit canggung. "Maaf, gue gak mau merepotkan," katanya, suaranya pelan
"Gak ada yang merepotkan, serius. Lo butuh istirahat. Gue khawatir lo ada sesuatu," kataku, harapanku agar dia bisa terbuka lebih banyak
Dia menghela napas, dan dalam sekejap aku bisa melihat bayangan keraguan di wajahnya. "Iya, mungkin. Rasanya semua jadi membingungkan," ujarnya, menundukkan kepala seolah menghindari tatapanku
"Lo kenapa, Ris?"
Eris hanya tersenyum, "Nanti aja pas pulang sekolah."
***
Eriska mengajakku untuk berbicara berdua di pantai belakang sekolah. Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan, dan suasana sejuk membuatku merasa lebih tenang
Sore itu, angin lembut pantai membawa aroma laut yang segar. Aku dan Eriska duduk berdampingan di atas pasir, memandang ombak yang tenang. Langit mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi jingga kemerahan seiring matahari yang perlahan tenggelam di cakrawala. Kami sudah lama diam, menikmati momen tanpa banyak bicara, hingga akhirnya Eriska memecah keheningan
"Bayu," suara Eriska terdengar pelan, seolah butuh keberanian untuk melanjutkan.
Aku menoleh padanya, menyadari ada sesuatu yang berat di matanya. "Iya, Ris?"
Dia menarik napas panjang, kemudian menghela, "Gue... mau dijodohkan."
Perasaanku mendadak seperti terhempas ombak. Ada keheningan sejenak di antara kami sebelum aku berhasil merespons. "Dijodohkan? Sama siapa?"
Eriska menunduk, memainkan pasir di tangannya, "Temennya Kak Keenan. Seluruh keluarga sudah setuju. Namanya Mas Rendra." Suaranya terdengar lelah, seolah-olah sudah menerima sesuatu yang tidak ia inginkan
Aku menatapnya, mencoba mencerna kata-katanya. "Dan reaksi lo... gimana? Lo setuju?"
Eriska menoleh, matanya terlihat berkaca-kaca. "Gue nggak tahu, Bay. Gue bingung... gue nggak pengen. Tapi gue nggak bisa nolak begitu aja. Lo tahu kan mama gimana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomanceSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya