Angin laut

52 8 0
                                    

Setelah menghabiskan waktu bersama Eriska dan Rendra, Regina, Lisa, Dika, dan Bayu akhirnya berpamitan. Hari sudah mulai gelap, dan mereka berjalan beriringan menuju parkiran. Sepanjang jalan, suasana masih dipenuhi rasa heran dan sedikit kebingungan akibat rahasia besar yang baru saja mereka dengar

Regina adalah yang pertama kali angkat bicara, suaranya masih terdengar syok. "Wah.. itu tadi benar-benar plot twist, sih. Gagal deh gue jadi kakak iparnya Eris."

Lisa, yang berjalan di samping Regina, tertawa. "Ye, kayak Mas Rendra mau aja sama lo."

Regina mencibir, "Ya kalau saingannya sama Eris pasti gue mundur, Lis! By the way, selama ini kita nggak tau apa-apa. Eris pintar banget nyembunyiin rahasia itu."

Dika, yang sejak tadi lebih tenang, tersenyum kecil. "Ya, kelihatan sih kalau ada sesuatu yang beda. Dari cara mereka ngobrol, kayak ada kedekatan lebih dari sekedar kakak-adik."

"Tapi mereka dijodohkan?" kata Regina lagi, dengan nada heran. "Di zaman sekarang? Pasti berat banget buat Eris."

Dika menghela napas, "Kalian nggak tau apa, kalau keluarganya Eris pemilik yayasan sekolah kita? Dia itu dari keluarga kaya raya, cuma dia nggak pernah nunjukkin aja. Iya kan, Bay?"

Bayu yang sedari tadi hanya mendengarkan, akhirnya berbicara. "Eriska emang nggak terlalu suka bicara soal keluarganya. Makanya dia nggak mau banyak orang tahu. Keluarganya juga bukan keluarga biasa."

Regina menghela napas panjang. "Tapi Mas Rendra kelihatan perhatian banget sama Eris. Mungkin, di balik semua ini, mereka memang bisa cocok."

"Siapa yang tahu?" jawab Dika. "Tapi yang jelas, kita harus tetap dukung Eriska, apapun keputusan yang dia ambil nanti. Nggak mudah menjalani sesuatu yang dia sendiri belum yakin sepenuhnya."

Regina mengangguk, lalu menatap Bayu yang berjalan di samping mereka dengan wajah serius. "Lo tahu dari kapan, Bay?"

Bayu sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, namun dia tetap menjawab. "Nggak lama, kok. Dia cerita langsung ke gue."

Lisa mengerutkan kening. "Kenapa lo nggak cerita ke kita?"

Bayu mengangkat bahu. "Itu kan rahasianya Eris. Kalau Eris ingin kalian tahu, dia pasti akan kasih tahu sendiri."

Semua terdiam sejenak, merenungkan situasi yang terjadi. Rahasia yang selama ini Eriska simpan akhirnya terbuka, namun bukan berarti itu membuat semuanya lebih mudah. Mereka tahu, perjalanan Eriska ke depan akan penuh tantangan

"Gue harap Eris bisa menjalani ini semua dengan baik," gumam Regina pelan

"Kita harus tetap ada buat dia," tambah Lisa, penuh tekad

Bayu hanya terdiam, memandang ke depan sambil menyimpan kekhawatirannya sendiri. Meskipun Eriska telah berbagi rahasianya dengan mereka, dia tahu bahwa beban di hati Eriska masih sangat berat

***

Di ruangan perawatan yang mewah itu, Rendra duduk di sebuah kursi empuk dekat ranjang Eriska, membuka laptopnya untuk melanjutkan pekerjaan. Cahaya lampu yang lembut memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang tenang

Namun, di balik ketenangan itu, Eriska berbaring di tempat tidur dengan wajah pucat. Eriska merintih kecil, tubuhnya menggeliat sedikit, dan tangannya secara refleks meremas seprai. Rendra, yang tengah memeriksa dokumen di laptopnya, segera mendongak saat mendengar suara Eriska. Wajahnya berubah tegang, meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk mendekati ranjang

"Eris, kamu baik-baik saja?" tanya Rendra, suaranya lembut namun dipenuhi kekhawatiran

Eriska tidak langsung menjawab. Matanya tertutup rapat, mencoba menahan gelombang rasa sakit yang datang secara tiba-tiba. Nafasnya terdengar terputus-putus. Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, "Aku.. nggak apa-apa, Mas. Ini memang efek dari obatnya, kata dokter Haris."

Remember meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang